12 Januari 2014

Ekspor Mineral Mentah Dilarang, Lantas?

Keputusan pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 1/2014 tentang pelarangan ekspor bahan mineral mentah -- emas, nikel, bauksit, bijih besi, tembaga, dan batu bara -- sungguh berani. Berani, karena keputusan yang efektif berlaku mulai 12 Januari 2014 itu nyata-nyata mempertaruhkan kepentingan ekonomi nasional. Paling tidak itu hingga beberapa tahun ke depan seiring kesanggupan perusahaan-perusahaan tambang di dalam negeri memenuhi ketentuan UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Menurut hitungan kasar, pelarangan ekspor bahan mineral mentah ini -- notabene merupakan amanat UU No 4/2009 -- membuat negara kehilangan potensi penerimaan devisa sekitar US$ 5 miliar atau sekitar Rp 55 triliun per tahun. Belum lagi penerimaan pajak dan royalti dari sektor pertambangan minerba juga hampir pasti anjlok.

Dalam kaitan itu pula, defisit neraca perdagangan bisa semakin menjadi-jadi.  Di sisi ketenagakerjaan, pelarangan ekspor bahan mineral mentah ini juga berisiko melahirkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam skala masif. Itu bisa terjadi, karena banyak -- untuk tidak mengatakan semua -- perusahaan tambang minerba kemungkinan kesulitan untuk sekadar bisa survive sekalipun. Mereka sulit melanjutkan kegiatan usaha karena telanjur tidak memiliki  pabrik pengolahan dan pemurnian bijih mineral (smelter) yang dipersyaratkan UU No 4/2009.

Berbagai konsekuensi itu pula yang membuat pemerintah sempat begitu kental terkesankan ragu dan galau untuk memberlakukan UU Minerba ini. Sampai-sampai sempat beredar spekulasi bahwa pemerintah akan menunda implementasi undang-undang itu,  sampai berbagai perusahaan tambang minerba di dalam negeri benar-benar siap -- terutama memiliki kelengkapan produksi berupa smelter.

Namun pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali konsekuen menerapkan UU Minerba sesuai tenggat yang telah ditentukan, yaitu 12 Januari 2014. Menunda implementasi undang-undang tersebut hanya menorehkan penilaian bahwa pemerintah tidak tegas atau bahkan tunduk terhadap tekanan perusahaan-perusahaan multinasional yang memiliki usaha tambang mineral di dalam negeri.

Di sisi lain, penundaan implementasi UU No 4/2009 juga hanya akan membuat sumber daya mineral terkuras lebih lama dan lebih banyak lagi tanpa memberikan nilai tambah. Karena bahan mineral diekspor dalam wujud mentah, penundaan itu juga membuat kegiatan usaha tambang minerba tetap tak memberikan efek berantai terhadap ekonomi nasional. 

Sebenarnya penerapan UU No 4/2009 ini tidak harus menjadi pil pahit bagi ekonomi nasional kalau saja pemerintah tidak abai. Pemerintah memiliki waktu sekitar empat tahun sejak UU Minerba diundangkan untuk melakukan sosialisasi bagi berbagai perusahaan tambang mineral melakukan perisiapan-persiapan teknis, terutama membangun smelter.

Tetapi rentang waktu empat tahun itu -- notebene sangat memadai -- disia-siakan begitu saja. Pemerintah absen dalam mendorong perusahaan-perusahaan tambang minerba melakukan persiapan. Pihak terakhir sendiri terkesankan pura-pura lupa, sehingga sejauh ini konon tak satu pun yang sudah membangun smelter.  

Kini, setelah UU No 4/2009 efektif berlaku mulai 12 Januari 2014, pemerintah perlu mencari solusi yang tepat untuk mengamankan ekonomi nasional dari konsekuensi pelarangan ekspor minerba dalam bentuk mentah. Solusi tersebut juga harus bersifat mendorong berbagai perusahaan tambang minerba membangun smelter dengan memberi kemudahan tertentu.

Mungkin, untuk tahap awal, ekspor minerba tidak harus seratus persen berupa hasil olahan. Dengan demikian, perusahaan-perusahaan tambang minerba bisa tetap bernapas sambil membangun smelter.***

12 Januari 2014