14 Januari 2014

Musabab Bencana Banjir

Bencana banjir yang hari-hari ini melanda sejumlah daerah, termasuk DKI Jakarta, bukan terutama karena faktor cuaca tidak bersahabat. Curah hujan tinggi tak bisa serta-merta ditunjuk sebagai bilang musabab bencana ini.

Bahkan seperti di DKI Jakarta, menurut catatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), curah hujan kali ini sebenarnya lebih rendah dibanding tahun lalu. Namun banjir yang melanda Jakarta sekarang ini tidak kalah dahsyat dibanding musim penghujan tahun lalu.

Di Manado, bencana banjir bandang yang begitu destruktif juga bukan terutama lantaran intensitas hujan kelewat tinggi. Begitu pula banjir yang merendam Karawang, Indramayu, Subang, Pekalongan, Padang Pariaman, Bangka, Palu, Musi Rawas, juga daerah-daerah lain. Bencana tersebut lebih karena daya dukung lingkungan makin amburadul.

Justru itu, dengan atau tanpa curah hujan tinggi, bencana banjir senantiasa menerjang. Tentu, makin tinggi intensitas hujan, bencana banjir pun makin hebat.

Daya dukung lingkungan semakin amburadul karena selama ini kita telanjur lupa diri. Terutama sejak era reformasi, kita kebablasan dalam memperlakukan lingkungan. Nilai-nilai kearifan dalam memperlakukan lingkungan sudah kita buang jauh-jauh. Prinsip-prinsip tata kelola lingkungan yang menjamin kelestarian atau kesinambungan alam juga kita lupakan.

Kalaupun prinsip-prinsip itu diterapkan, kita tak sepenuh hati dan cenderung sekadar menjadikannya sebagai kosmetik. Cuma untuk memberi kesan bahwa kita tak abai terhadap isu lingkungan.

Dengan sikap mental seperti itu, maka eksploitasi alam bukan saja dilakukan secara masif, melainkan juga jor-joran. Sikap ini tak hanya ditunjukkan kalangan pengambil kebijakan. Bahkan rakyat jelata pun tak terkecuali memperlakukan alam secara semena-mena.

Wujud sikap semana-mena itu begitu gamblang. Di kalangan rakyat kebanyakan, sikap semena-mena dalam memperlakukan lingkungan ini antara lain tergambar dalam bentuk aksi penebangan liar kayu hutan dan praktik pertambangan ilegal. Atas nama semangat bebas yang dihembuskan reformasi 1998, rakyat seolah merasa punya hak untuk ikut melumat habis sumber daya alam.

Di sisi kebijakan formal, kawasan hutan diobral menjadi kavling-kavling penguasaan atau konsesi eksploitasi -- entah untuk industri perkayuan, perkebunan, juga pertambangan mineral. Bahkan hutan lindung ataupun kawasan yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air juga dibiarkan disulap menjadi hamparan yang mewadahi kegiatan sosial-ekonomi. Lalu lahan pertanian beririgasi teknis terus digusur dalam skala masif untuk kepentingan industri dan permukiman.

Sementara itu, lingkungan perkotaan maupun perdesaan dikembangkan nyaris tanpa kendali. Perkotaan dan perdesaan seolah dibiarkan tumbuh bak alang-alang dengan kecenderungan lebih mementingkan fungsi-fungsi ekonomi dan mengorbankan fungsi ekologi.

Jadi, menuding faktor cuaca sebagai biang musabab bencana banjir sekarang ini adalah naif. Karena itu pula, rekayasa cuaca yang dilakukan pemerintah untuk mengendalikan curah hujan terbukti nyaris tak berpengaruh: bencana banjir tetap saja menerjang.

Yang harus kita lakukan memang bukan jalan pintas semacam rekayasa cuaca, melainkan perubahan sikap dengan kembali memperlakukan lingkungan secara arif. Tanpa itu, alam akan terus menunjukkan hukumnya sendiri berupa bencana semacam banjir atau tanah longsor.***
 

19 Januari 2014