19 Desember 2013

Konsistensi KPK

Dalam menangani kasus korupsi yang diduga melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah -- juga sejumlah kasus lain -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan sikap-tindak gesit dan penuh semangat. Ratu Atut ditetapkan sebagai tersangka hanya dalam tempo beberapa pekan setelah KPK membongkar kasus suap dengan aktor utama Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Bahkan adik Atut -- Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan --  sudah lebih dulu diberi status serupa dan dikurung di tahanan KPK sejak beberapa waktu lalu.

KPK menyatakan Ratu Atut dan Wawan terlibat tindak pidana suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Kabupaten Lebak, Banten, di Mahkamah Konstitusi; serta tindak pidana korupsi dalam pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten. KPK juga konon tengah melakukan pendalaman dan pengumpulan fakta hukum terkait indikasi keterlibatan anggota lain keluarga besar Ratu Atut -- entah dalam kasus yang sama ataukah kasus lain lagi.

Kasus yang menjerat Ratu Atut merupakan hasil pendalaman dan pengembangan yang dilakukan KPK atas kasus yang melibatkan Akil Mochtar, khususnya dugaan suap dalam pengurusan sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi. Sementara kasus korupsi dalam pengadaan alat kesehatan ditelisik KPK berdasar info masyarakat, menyusul pengungkapan kasus suap yang diduga melibatkan Wawan.

Gerak langkah KPK yang trengginas menangani kasus yang menjerat Raut Atut ini -- juga sejumlah kasus lain, seperti kasus suap yang melibatkan Ketua SKK Migas Rudi Rubiandini ataupun kasus korupsi dalam pengadaan simulator mengemudi yang menjerat Kepala Korlantas Mabes Polri Irjen Pol  Djoko Susilo -- jelas patut diapresiasi.

Sikap itu bukan hanya menunjukkan semangat tinggi, melainkan juga menjadi perwujudan komitmen KPK menegakkan prinsip equality before the law. Entah jenderal, entah kongmerat, entar gubernur, entah politisi Senayan, entah petinggi parpol --  semua diperlakukan sama di depan hukum.

Tetapi sikap seperti itu tak konsisten diperlihatkan KPK. Dalam beberapa kasus yang diduga melibatkan pusat kekuasaan, seperti kasus bailot Bank Century, KPK terkesankan bersikap ogah-ogahan menggarap aktor-aktor di pusat kekuasaan ini. Seolah KPK kehilangan semangat dan nyali. Dalam bahasa lugas, KPK tampak bersikap tebang pilih.

Yang aktual, sikap itu diperlihatkan KPK dalam menghadapi keterangan mantan Direktur Keuangan Grup Permai Yulianis. Bekas anak buah terpidana korupsi proyek Wisma Atlet M Nazaruddin itu beberapa kali menyebut putera Presiden Yudhoyono yang juga Sekjen Partai Demokrat, Eddie Baskoro alias Ibas, ikut menerima uang dari Nazaruddin.

Yulianis membeberkan ihwal itu saat bersaksi pada persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Kepala Biro Perencanaan Kemenpora Deddy Kusdinar. Menurut Yulianis, ada aliran uang sebesar 200.000 dollar AS kepada Ibas. Aliran tersebut tercatat dalam pembukuan yang dia pegang.

Yulianis juga mengaku bahwa kesaksian itu dia sampaikan pula saat diperiksa oleh penyidik KPK. Tetapi, memang, keterangan dia kepada penyidik ini tidak masuk berita acara pemeriksaan -- sesuatu yang di luar kehendak dan di luar kuasa Yulianis.

Meski pengakuan Yulianis itu begitu gamblang, toh KPK terkesankan ogah melakukan tindak lanjut dengan antara lain seharusnya sigap meminta keterangan Ibas. Bahkan, Ketua KPK Abraham Samad tanpa tedeng aling-aling menafikan keterangan Yulianis dengan mengatakan perempuan tersebut aneh -- karena dia menilai Yulianis hanya mengutarakan keterangan soal Ibas ini dalam persidangan dan  tidak masuk berita acara pemeriksaan.

Sikap Abraham itu pula yang mendorong Yuslianis beberapa hari lalu mengajukan protes. Dia menuntut Abraham mencabut pernyataannya tentang Yuslianis yang dia sebut sebagai orang aneh.

Bagi publik, sikap Yuslianis yang begitu kukuh mengenai Ibas ini meerupakan petunjuk bahwa perempuan itu tidak main-main. Justru itu, menjadi aneh jika KPK tak bersemangat atau bahkan hilang nyali untuk melakukan tindak lanjut sebagaimana mestinya: meminta keterangan Ibas. Keanehan ini pada akhirnya bisa bermuara pada kesan bahwa KPK hanya trengginas bertindak terhadap kasus yang tidak bersinggungan dengan pusat kekuasaan.***

19 Desember 2013