06 Desember 2013

Teladan Delegasi India

Sikap delegasi India dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Nusa Dua, Bali, sungguh patut diteladani. Demi kepentingan nasional India, mereka kukuh pada pendirian yang sejak awal mereka perjuangkan. Sikap mereka tak lantas lumer oleh lobi intensif delegasi-delegasi lain, meski karena itu mereka menjadi lain sendiri.

Delegasi India jelas sadar betul bahwa sikap mereka itu bisa membuat mereka dicap sebagai biang penyebab kegagalan konferensi WTO di Bali. Padahal cap tersebut berkonotasi sangat buruk karena konferensi WTO di Bali sejak jauh hari sangat diharapkan dunia internasional mengakhiri kebuntuan perundingan Putaran Doha yang sudah berlangsung sejak 12 tahun lalu.

Toh delegasi India bergeming. Mereka tak gampang menyusut karena sikap tersebut punya implikasi serius terhadap kepentingan nasional India. Bagi mereka, lembek dalam berunding sama saja dengan  menyerahkan kedaulatan India terhadap agenda-agenda WTO. Padahal agenda-agenda itu tidak selalu menguntungkan kepentingan nasional mereka selaku negara berkembang. Sebab, diakui ataupun tidak, agenda-agenda WTO cenderung menguntungkan kelompok negara maju.

Jadi, sikap delegasi India dalam konferensi WTO di Bali ini jelas tidak bersifat membabi-buta. Mereka memiliki alasan sangat mendasar: kepentingan nasional India, yang bersifat fundamental, tak boleh diobral. Dalam konteks WTO, kepentingan nasional India yang bersifat fundamental ini adalah nasib petani dan pertanian mereka yang harus aman terlindungi, sehingga tidak menjadi korban konyol perdagangan global. 

Nah, sikap itu yang sungguh patut diteladani oleh para perunding kita dalam berbagai forum perjanjian internasional. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap keinginan baik dan kerja keras dalam mengikuti perundingan-perundingan internasional, sikap mereka selama ini terkesankan lembek. Tidak seperti delegasi India dalam konferensi WTO di Bali, mereka cenderung tak menunjukkan sikap militan dalam memperjuangkan kepentingan nasional yang bersifat fundamental ini.

Bahkan, secara umum, para perunding kita terkesankan kelewat gampang menerima atau menyetujui klausul-klausul perjanjian internasional. Mereka seolah mengabaikan faktor kesiapan dan kamampuan fundamental kita untuk melaksanakan klausul-klausul itu.

Dalam konteks itu, para perunding kita sepertinya mudah terbuai oleh potensi manfaat atau keuntungan sebuah perjanjian. Seolah-olah manfaat itu sudah pasti bisa kita nikmati. Mereka seolah alpa bahwa jika tak didukung kesiapan dan kemampuan sendiri, perjanjian itu juga punya implikasi yang bisa merugikan kepentingan nasional.

Karena itu, tidak mengherankan sejumlah perjanjian internasional yang ikut kita sepakati -- khususnya perjanjian bilateral ataupun regional tentang liberalisasi perdagangan dan investasi -- membuat kepentingan nasional seolah tergadai. Banjir aneka produk impor sekarang ini adalah implikasi nyata perjanjian-perjanjian itu.

Banjir aneka produk impor cenderung  merugikan kepentingan nasional lantaran produk-produk serupa yang kita hasilkan kalah bersaing. Jadi, karena faktor kesiapan dan kemampuan kita tidak mendukung, perjanjian-perjanjian itu lebih mengondisikan negeri kita sebagai pasar bagi produk barang dan jasa mitra dagang. Kita sendiri relatif sedikit mampu melakukan ekspansi dagang ke mancanegara.

Maka, sekali lagi, kesadaran dan militansi delegasi India di forum konferensi WTO di Bali sungguh patut diteladani. Terlebih India juga tergolong negara berkembang seperti kita.**

6 Desember 2013