18 Desember 2013

UU Desa, Lega dan Cema

Persetujuan DPR agar RUU Desa disahkan Presiden menjadi undang-undang, kemarin, memunculkan kelegaan sekaligus kecemasan. Lega, karena undang-undang tersebut jelas kental bersemangat mengangkat kesejahteraan masyarakat desa, termasuk perangkat desanya sendiri.

Tapi keberadaan UU Desa ini juga mencemaskan. Bukan tidak mungkin nanti terjadi berbagai tindak penyelewengan dalam penggunaan anggaran desa, sehingga tujuan mulia undang-undang ini -- mengangkat kesejahteraan masyarakat desa -- banyak terganggu.

Karena itu, bukan tidak mungkin kelak muncul koruptor-koruptor tingkat desa sebagaimana fenomena korupsi di tingkat pemerintahan lebih atas yang demikian marak. Mungkin juga, karena besaran dan pengucuran anggaran desa ditentukan pemkab/pemkot, UU Desa ini melahirkan pula tindak penyimpangan berupa pemotongan anggaran ataupun pungli oleh oknum pejabat di tingkat kabupetan/kota.

Di sisi lain, UU Desa juga menyimpan potensi bara yang bisa mengoyak stabilitas kehidupan sosial di tingkat desa. Konflik antarelite desa bisa meningkat -- terutama terkait pemilihan kepala desa. Belum lagi praktik politik uang juga hampir pasti tumbuh subur dalam setiap perhelatan pemilihan kepala desa, sehingga nilai-nilai idealisme di desa bisa tercemar.

Dari sisi kelembagaan, kelahiran UU Desa merupakan tonggak bersejarah. Bersejarah, karena kerangka pemerintahan di tingkat desa, termasuk hak-hak dan kewajiban desa, resmi diatur. Masa jabatan kepala desa, misalnya, ditetapkan enam tahun dan bisa diperpanjang maksimal hingga tiga kali. Perangkat desa juga saban bulan menikmati gaji tetap dari pemerintah.

Selama ini, perangkat desa tidak mendapatkan gaji resmi sebagaimana lazim dinikmati pejabat publik. Kesejahteraan perangkat desa selama ini melulu disandarkan kepada hasil pemanfaatan tanah bengkok plus belas kasih masyarakat.

Selain gaji, perangkat desa juga sekarang menikmati jaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Jadi, bagi perangkat desa, UU Desa bukan cuma menjadi tonggak sejarah, melainkan juga sungguh menyejahterakan. Karena itu, perangkat desa sungguh patut menyambut kelahiran undang-undang tersebut dengan suka cita. Terlebih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin langsung berkomitmen segera melakukan pengesahan.

Bagi masyarakat desa sendiri, UU Desa tak terkecuali patut disambut gembira -- karena menjanjikan kesejahteraan. Ini terutama terkait alokasi anggaran yang bernilai antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per tahun untuk setiap desa. Anggaran tersebut melulu untuk proyek-proyek pembangunan di tingkat desa. Itu pun proyek-proyek yang bersifat produktif secara sosial-ekonomi bagi masyarakat desa, seperti pembangunan prasarana jalan, jembatan, atau irigasi desa.

Namun justru itu, implementasi UU Desa menuntut pengawasan ekstra ketat. Bagaimanapun, untuk tingkat desa, anggaran Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar per tahun bukan jumlah kecil. Maka harus diatur rinci pihak dan tindak pengawasan agar dana tersebut tidak dimanipulasi atau diselewengkan menjadi bancakan oleh oknum-oknum yang memiliki akses kuasa.***

18 Desember 2013