17 Desember 2013

Bahaya Laten Kekuasaan

Menjadi pejabat publik di negeri kita ini sangat berat dan tidak mudah. Godaan yang harus dihadapi, yang bisa menjerumuskan ke arah tindak penyelewengan kekuasaan, sungguh bukan main. Godaan itu bukan cuma datang dari lingkungan eksternal, melainkan juga dari lingkaran dalam sendiri -- entah teman, kerabat, atau keluarga.

Bahkan sebagaimana tecermin dalam beberapa kasus korupsi yang bergulir ke pengadilan, godaan dari lingkaran dalam jauh lebih serius. Saking seriusnya, godaan itu bisa berubah menjadi tekanan yang sangat merongrong kekuasaan di tangan pejabat publik. Direstui ataupun tidak, mereka memanfaatkan kekuasaan sang pejabat entah untuk keuntungan sendiri maupun bersama, juga untuk kepentingan pihak lain.

Tentang itu, simak saja kasus korupsi proyek Hambalang. Dalam persidangan kasus tersebut terungkap bagaimana Andi Zulkarnaen Anwar -- akrab dikenal sebagai Choel Mallarangeng -- diduga merongrong kekuasaan sang kakak,  Andi Alifian Mallarangeng -- kala menjabat Menpora. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan  menyatakan bahwa Choel meminta rente alias fee kepada pihak yang dinyatakan sebagai pemenang proyek. Konon, fee itu tak lain untuk sang kakak sendiri -- karena dia enggan meminta langsung kepada pemenang proyek.

Contoh lain, kasus hukum yang membelit Luthfi Hasan Ishaaq tak lepas dari sepak-terjang sang sohib, Fathanah. Dengan sepengetahuan atau restu Luthfi, Fathanah begitu leluasa bertindak sebagai makelar proyek di lingkungan Kemtan. Dalam konteks ini, Fathanah mentransaksikan pengaruh Luthfi sebagai orang nomor satu di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pengaruh tersebut amat berharga karena institusi Kemtan dipimpin kader PKS.

Di lingkungan pemerintahan Provinsi Banten, peran makelar proyek itu diduga dilakukan oleh adik gubernur. Sang adik begitu leluasa mengatur siapa saja yang bisa menjadi pemenang proyek. Karena itu pula, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menyandangkan status tersangka kepada kakak beradik ini.

Kkekuasaan orang nomor satu di negeri kita juga tak terkecuali bisa dirongrong oleh lingkaran dalam. Sebagaimana pemberitaan sebuah koran Australia, yang mengutip bocoran data Wikileaks, Ibu Negara Ani Yudhoyono disebut acap ikut cawe-cawe dalam urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab sang suami, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meski dibantah pejabat-pejabat Istana, isu tersebut tak pelak seolah menjadi pembenaran bahwa jika tak pandai-pandai menjaga integritas, pejabat publik bisa dirongrong oleh lingkaran dalam sendiri.

Rongrongan itu tak pelak bisa membuat kekuasaan menjadi distorsif sekaligus koruptif. Kekuasaan tidak lagi terutama diacukan untuk kemaslahatan orang banyak, melainkan diselewengkan menjadi alat bagi kepentingan orang per orang atau kelompok di sekitar pemegang kekuasaan.

Jadi, lingkaran dalam bisa menjadi bahaya laten kekuasaan. Seorang pejabat publik boleh bersih dan punya komitmen besar menggunakan kekuasaan di tangannya bagi kepentingan rakyat banyak. Tetapi sahabat, kerabat, anak, istri, dan lain-lain yang masuk lingkaran dalam bisa diam-diam mendompleng sehingga kekuasaan menjadi distorsif dan koruptif.

Bagi masyarakat paternalistik seperti di Indonesia, potensi kekuasaan menjadi distorsif dan koruptif ini sungguh besar. Rongrongan lingkaran dalam lambat-laun bisa membuat pejabat berintegritas pun menjadi lumer dan akhirnya terdorong menyalahgunakan kekuasaan.

Justru karena merupakan lingkaran dalam, bahaya laten yang menyertainya jelas tak bisa dienyahkan begitu saja. Justru itu, kunci masalah terletak pada integritas sang pejabat sendiri. Dalam konteks ini, komitmen moral dan nurani menjadi pijakan yang menentukan apakah pejabat itu bisa teguh memegang integritas atau menjadi pengkhianat bagi dirinya sendiri.(*)

17 Desember 2013