Pernyataan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa negara harus membela pejabat
pemerintah yang terjebak korupsi, sungguh terasa mengusik. Pernyataan yang
diutarakan Senin lalu dalam acara peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia dan Hari
HAM itu serta-merta menorehkan kesan bahwa SBY permisif terhadap praktik
korupsi. Seolah-olah tindakan korupsi tidak selalu merupakan perbuatan hina dan
jahat.
SBY menjelaskan
bahwa korupsi bisa merupakan tindakan yang disengaja, dan bisa pula merupakan
perbuatan yang tidak dilandasi niat pelaku. Nah, untuk korupsi kategori
pertama, SBY bilang good bye. Artinya, pelaku (baca: pejabat pemerintah) tak
perlu dibela. Biarkan dia dikenai sanksi hukum secara maksimal.
Sementara untuk
perbuatan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku, dalam pandangan SBY, negara
harus memberikan pembelaan. Itu karena dalam konteks tersebut korupsi bukan
lagi merupakan perbuatan jahat. Korupsi terjadi bukan karena pelaku memang
punya niat melakukan perbuatan tersebut, melainkan lebih karena dia tidak paham
mengenai praktik korupsi.
Tidak jelas,
apakah pernyataan SBY itu merujuk kepada kasus mantan Menpora Andi Alifian
Mallarangeng yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai
tersangka perkara dugaan korupsi proyek Hambalang? Yang pasti, di tengah
praktik korupsi di Indonesia yang merajalela dan menggurita sekarang ini,
pernyataan itu terasa enah atau bahkan naif. Bagaimana mungkin ada pejabat
pemerintah tidak bisa membaca praktik-praktik rasuah sehingga dia terjebak
kasus korupsi?
Lagi pula,
bukankah pemerintah sendiri sudah menerbitkan perangkat peraturan menyangkut
upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Inpres No
17/2011? Bahkan inpres tersebut dilengkapi dengan sejumlah program dan rencana
aksi segala?
Jadi, dengan
adanya Inpres No 17/2011, setiap pejabat pemerintah mestinya tahu batas-batas
perbuatan beraroma korupsi dan tidak. Karena itu, sungguh sulit mengandaikan
ada pejabat pemerintah sampai tidak tahu atau tidak paham praktik korupsi.
Kalaupun sampai ada pejabat yang terjerat kasus korupsi karena dia tidak bisa
mengenali praktik rasuah, itu sungguh keterlaluan dan konyol. Sebagai pejabat,
dia jelas tidak kredibel alias tidak layak punya posisi strategis di pemerintahan.
Karena itu, benar
kata Ketua KPK Abraham Samad: pejabat pemerintahan mutlak harus cerdas,
sehingga dia tak bisa terjebak praktik korupsi. Pejabat pemerintahan tidak
boleh merupakan pribadi lugu atau apalagi naif sehingga tak bisa mengenali
batas-batas perbuatan hina dan jahat seperti korupsi dengan perbuatan amal
saleh.
Walhasil,
konstatasi SBY soal korupsi sebagai tindakan yang disengaja dan korupsi yang
tidak dilandasi niat pelaku bisa menyesatkan. Bagaimanapun, di Indonesia ini
setiap kasus korupsi sulit diasumsikan tanpa kesadaran atau bahkan tanpa niat
pelaku. Yang mungkin terjadi, pelaku pura-pura tidak tahu atau bermuslihat
tidak mengerti praktik korupsi.
karena itu pula,
negara tidak patut memberikan pembelaan terhadap pejabat pemerintah yang
terlibat korupsi berdasar asumsi bahwa pejabat itu tidak paham praktik rasuah.
Biarkan proses hukum bergulir sebagaimana seharusnya. Toh mekanisme hukum
mengenal asas praduga tak bersalah. Mekanisme hukum juga memberikan hak orang
yang terbelit kasus hukum untuk memperoleh pembelaan hukum.
Lagi pula, bukankah di negara Indonesia
ini siapa pun berkedudukan sama di muka hukum?***
Jakarta, 9 Desember 2013