09 Desember 2013

Permisif Korupsi?


Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), bahwa negara harus membela pejabat pemerintah yang terjebak korupsi, sungguh terasa mengusik. Pernyataan yang diutarakan Senin lalu dalam acara peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia dan Hari HAM itu serta-merta menorehkan kesan bahwa SBY permisif terhadap praktik korupsi. Seolah-olah tindakan korupsi tidak selalu merupakan perbuatan hina dan jahat.

SBY menjelaskan bahwa korupsi bisa merupakan tindakan yang disengaja, dan bisa pula merupakan perbuatan yang tidak dilandasi niat pelaku. Nah, untuk korupsi kategori pertama, SBY bilang good bye. Artinya, pelaku (baca: pejabat pemerintah) tak perlu dibela. Biarkan dia dikenai sanksi hukum secara maksimal.

Sementara untuk perbuatan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku, dalam pandangan SBY, negara harus memberikan pembelaan. Itu karena dalam konteks tersebut korupsi bukan lagi merupakan perbuatan jahat. Korupsi terjadi bukan karena pelaku memang punya niat melakukan perbuatan tersebut, melainkan lebih karena dia tidak paham mengenai praktik korupsi.

Tidak jelas, apakah pernyataan SBY itu merujuk kepada kasus mantan Menpora Andi Alifian Mallarangeng yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka perkara dugaan korupsi proyek Hambalang? Yang pasti, di tengah praktik korupsi di Indonesia yang merajalela dan menggurita sekarang ini, pernyataan itu terasa enah atau bahkan naif. Bagaimana mungkin ada pejabat pemerintah tidak bisa membaca praktik-praktik rasuah sehingga dia terjebak kasus korupsi?

Lagi pula, bukankah pemerintah sendiri sudah menerbitkan perangkat peraturan menyangkut upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana tertuang dalam Inpres No 17/2011? Bahkan inpres tersebut dilengkapi dengan sejumlah program dan rencana aksi segala?

Jadi, dengan adanya Inpres No 17/2011, setiap pejabat pemerintah mestinya tahu batas-batas perbuatan beraroma korupsi dan tidak. Karena itu, sungguh sulit mengandaikan ada pejabat pemerintah sampai tidak tahu atau tidak paham praktik korupsi. Kalaupun sampai ada pejabat yang terjerat kasus korupsi karena dia tidak bisa mengenali praktik rasuah, itu sungguh keterlaluan dan konyol. Sebagai pejabat, dia jelas tidak kredibel alias tidak layak punya posisi strategis di pemerintahan.

Karena itu, benar kata Ketua KPK Abraham Samad: pejabat pemerintahan mutlak harus cerdas, sehingga dia tak bisa terjebak praktik korupsi. Pejabat pemerintahan tidak boleh merupakan pribadi lugu atau apalagi naif sehingga tak bisa mengenali batas-batas perbuatan hina dan jahat seperti korupsi dengan perbuatan amal saleh.

Walhasil, konstatasi SBY soal korupsi sebagai tindakan yang disengaja dan korupsi yang tidak dilandasi niat pelaku bisa menyesatkan. Bagaimanapun, di Indonesia ini setiap kasus korupsi sulit diasumsikan tanpa kesadaran atau bahkan tanpa niat pelaku. Yang mungkin terjadi, pelaku pura-pura tidak tahu atau bermuslihat tidak mengerti praktik korupsi.

karena itu pula, negara tidak patut memberikan pembelaan terhadap pejabat pemerintah yang terlibat korupsi berdasar asumsi bahwa pejabat itu tidak paham praktik rasuah. Biarkan proses hukum bergulir sebagaimana seharusnya. Toh mekanisme hukum mengenal asas praduga tak bersalah. Mekanisme hukum juga memberikan hak orang yang terbelit kasus hukum untuk memperoleh pembelaan hukum.
     Lagi pula, bukankah di negara Indonesia ini siapa pun berkedudukan sama di muka hukum?***

Jakarta, 9 Desember 2013