11 Desember 2013

Antisipasi Isu Tapering

Nilai tukar rupiah belum juga menunjukkan tanda-tanda bisa stabil. Titik keseimbangan baru, setelah kurs rupiah ini lebih dari 20 persen terdepresiasi sejak awal tahun, belum juga terbentuk. Kecenderungasn yang terjadi, rupiah masih saja terus tertekan. Kemarin, misalnya, rupiah kembali terperosok ke level psikologis Rp 12.000 per dolar. Bahkan di sebuah bank swasta nasional, kemarin kurs jual rupiah sempat menyentuh Rp 12.120 per dolar.

Nilai tukar rupiah yang cenderung terus melemah ini jelas membuat kehidupan ekonomi nasional menjadi menggerahkan. Jajaran korporat, misalnya, harus menanggung risiko pembengkakan beban utang luar negeri. Di sisi lain, kredit perbankan juga melambung, sementara daya beli masyarakat menyusut karena aneka harga barang konsumsi -- terutama yang bersentuhan dengan impor -- terus meroket. 

Kenyataan itu sungguh mengenaskan karena Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah sudah melakukan upaya pengendalian yang terbilang signifikan. Selain intensif mengintervensi pergerakan kurs dengan menggelontorkan dolar ke pasar uang, BI juga bertubi-tubi mengerek suku bunga acuan alias BI Rate sebesar 175 basis poin sejak Juni lalu hingga menjadi 7,5 persen sekarang ini. Selain itu, BI memainkan pula instrumen moneter lain seperti Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI), hedging, swap-reswap, juga pembelian valas hasil ekspor dengan tenor dan varian yang lebih atraktif.

Di lain pihak, Agustus lalu pemerintah meluncurkan paket stimulus fiskal yang terutama disiapkan sebagai instrumen untuk mengatasi defisit transaksi berjalan. Masalah tersebut disadari benar merupakan salah satu faktor yang serius menekan kurs rupiah. 

Namun, itu tadi, pergerakan rupiah tetap bergeming dengan kecenderungan melemah. Seolah-olah paket kebijakan fiskal yang diluncurkan pemerintah tak diyakini pelaku pasar uang bisa efektif mengatasi masalah defisit transaksi berjalan. Terlebih lagi, memang, impor bahan bakar minyak (BBM) -- faktor utama yang menorehkan defisit transaksi berjalan -- tetap tinggi. Lalu, implementasi paket kebijakan fiskal sendiri masih harus dijabarkan menjadi kebijakan-kebijakan operasional.

Begitu pula serangkaian kebijakan moneter yang ditebar BI tak serta-merta membuat dana investasi portofolio asing tetap ngendon di pasar uang dalam negeri -- ditanamkan dalam deposito dan berbagai instrumen surat berharga. Secara pasti, dana investasi portofilio asing ini terus saja mengalir ke mancanegara.

Di sisi lain, kalangan eksportir juga tidak otomatis berbondong-bondong menarik masuk dana valas hasil ekspor ke dalam negeri. Mereka terkesankan tetap lebih merasa nyaman memarkir dana hasil ekspor itu di luar negeri.

Jadi, intinya, upaya pemerintah menahan laju depresiasi rupiah kalah seksi oleh isu tentang rencana bank sentral AS melakukan pengurangan stimulus moneter (tapering off). Sentimen negatif ini semakin pekat membayang, sehingga rupiah pun hari-hari ini terus tertekan.

Tak bisa tidak, karena itu, pemerintah perlu segera meluncurkan lagi kebijakan antisipatif yang  bisa mendinginkan tensi psikologi pelaku di pasar uang. Jika tidak, kita khawatir kurs rupiah bablas masuk jurang karena investasi portofio serta-merta mengalir deras ke AS manakala tapering off direalisasikan. Kabijakan antisipatif ini terutama perlu dilakukan di sisi fiskal, karena antisipasi di sektor moneter sendiri bisa dikatakan sudah pol.***

11 Desember 2013