06 Mei 2008

Figur Baru Menko Perekonomian

Di tengah hingar-bingar persoalan ekonomi sekarang ini, figur calon pengganti Beodiono di pos Menko Perekonomian seolah terlupakan. Siapa calon pengganti itu belum juga jelas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seperti sengaja menunda mengambil keputusan soal itu. Bahkan sekadar memberi isyarat seputar isu tersebut saja tidak.

Padahal keberadaan Boediono di kabinet praktis tinggal menghitung hari. Dia harus segera menanggalkan posisi sebagai Menko Perekonomian. Sesuai persetujuan DPR, Boediono harus segera duduk di pos baru sebagai Gubernur Bank Indonesia, menggantikan Burhanuddin Abdullah yang habis masa jabatan pada Mei ini setelah berkiprah sejak tahun 2003 silam. Bahkan, menurut kabar yang santer beredar, pelantikan Boediono sebagai orang nomor satu di Bank Indonesia ini dilakukan akhir Mei ini.

Memang, beberapa nama sempat disebut-sebut sebagai calon pengganti Boediono di kabinet. Antara lain Fahmi Idris yang kini duduk sebagai Menteri Perindustrian, Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, juga Irsan Tanjung yang kini mengisi pos Dubes RI di Filipina. Toh peredaran nama-nama itu tak lebih sekadar menjadi rumors sepintas lalu. Pihak Istana sendiri tak pernah memberi klarifikasi.

Kenyataan itu sungguh tidak elok. Mengambangkan atau menunda-nunda keputusan penting jelas tidak patut -- apa pun alasannya. Terlebih lagi menyangkut pos strategis seperti Menko Perekonomian.

Pos tersebut sekarang ini makin strategis lagi karena masalah yang terbentang begitu kompleks dan krusial. Kompleks, karena masalah itu -- kondisi ekonomi nasional yang tertekan hebat oleh gejolak harga minyak mentah dan harga komoditas pangan di tingkat global -- tak bisa lagi sekadar ditangani satuan-satuan institusi teknis. Masalah itu amat menuntut keterpaduan langkah penanganan kelembagaan pemerintahan. Ibarat tim sepakbola, pemerintah amat dituntut menerapkan strategi total football.

Dalam konteks itu, peran dan fungsi lembaga Menko Perekonomian menjadi demikian niscaya. Tanpa peran dan fungsi lembaga Menko Perekonomian, masalah yang kini terbentang dalam lapangan ekonomi nasional sulit diharapkan bisa terjawab sesuai tuntutan dan kebutuhan.

Masalah itu juga krusial, karena telah dan masih terus berkembang. Kita tahu, harga komoditas pangan maupun minyak bumi telah melonjak berkali lipat dibanding tahun lalu. Padahal arah perkembangan masih cenderung terus menanjak.
Kenyataan tersebut melahirkan implikasi serius. Ketahanan ekonomi masyarakat semakin tipis karena daya beli telanjur melorot drastis. Di sisi lain, APBN juga menjadi berdarah-darah karena anggaran subsidi pangan maupun energi membengkak hebat.

Di tengah kondisi demikian, pemerintah sendiri sudah memberi isyarat segera menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Ini memang merupakan langkah penyelamatan yang sulit dihindari, karena APBN tak mungkin terus dibiarkan kian berdarah-darah. Tapi langkah tersebut bukan tanpa ongkos mahal. Ekonomi nasional niscaya memburuk, terutama karena kegiatan dunia usaha jadi tertatih-tatih didera peningkatan ongkos produksi dan penurunan daya beli masyarakat. Sementara bagi masyarakat secara keseluruhan, kenaikan harga BBM bersubsidi berdampak kian mengikis kesejahteraan. Artinya, kemiskinan pun semakin meluas dan lebih mendalam.

Dalam kondisi seperti itu, sekali lagi, peran seorang Menko Perekonomian sungguh mutlak perlu. Itu berarti, figur pengganti Boediono di pos tersebut harus segera diputuskan. Terus menunda-nunda langkah ke arah itu sungguh berisiko. Kondisi ekonomi nasional, termasuk kesejahteraan masyarakat, berisiko kian sulit ditangani dan mungkin telanjur memakan banyak korban.

Mencari dan memilih figur pengganti Boediono sebagai Menko Perekonomian ini tak terlalu sulit. Toh banyak sosok yang memiliki kapabilitas memadai dan bisa diandalkan untuk itu. Jadi, kenapa ditunda-tunda?***
Jakarta, 06 Mei 2008




Tidak ada komentar: