21 Mei 2008

Tantangan buat Boediono

Memimpin Bank Indonesia (BI) sekarang ini pasti tidak mudah. Pasti berat. Tantangan yang terbentang begitu kompleks. Situasi dan kondisi yang harus dihadapi jelas-jelas tidak bersahabat. Jurus-jurus yang harus dipraktikkan pun tidak saja secara akademis mesti betul dan tepat, tapi secara psikologis juga harus smooth. Jurus-jurus itu tidak boleh menumbuhkan persepsi buruk khalayak luas -- seakan-akan BI grogi, panik, atau bahkan tidak becus mengendalikan keadaan.

Boediono, yang Kamis ini resmi dilantik menggantikan Burhanuddin Abdullah sebagai Gubernur BI, tentu mengerti betul tuntutan kondisional itu. Boediono pasti sadar bahwa menduduki kursi Gubernur BI saat sekarang ini tidak bakal nyaman. Tidak melenakan. Kursi Gubernur BI bukan sebuah singgasana, melainkan lebih menyerupai tungku dengan bara yang merah menyala.

Bara itu sendiri, antara lain, inflasi yang potensial membubung. Perkembangan selama beberapa bulan terakhir menunjukkan, inflasi cenderung menapak di level tinggi. Kini kecenderungan ke arah itu makin kuat. Inflasi potensial kian melangit berkaitan dengan dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang tinggal menunggu waktu resmi diumumkan pemerintah.

Ditambah situasi dan kondisi global yang cenderung bergejolak nyaris tak terkendali, kenyataan itu membuat pengelolaan moneter makin mahal. Menguras banyak anggaran. Selama tahun lalu saja, pengelolaan moneter ini membuat anggaran BI mengalami defisit.

Sekarang ini, perkembangan moneter kian krusial. Gejolak ekonomi global telah menggerus kepercayaan kalangan pemilik modal. Di mana-mana, orang cenderung enggan menabur modal di sektor ekonomi ataupun perdagangan riil. Mereka lebih memilih produk-produk perdagangan derivatif.

Kecenderungan itu membuat arus masuk modal global ke dalam negeri bukan hanya menjadi seret. Lebih dari itu, bukan tidak mungkin modal yang selama ini bersemayam di dalam negeri pun justru terdorong mengalir deras ke luar.

Itu sungguh amat riskan karena sektor finansial kita telanjur menggelembung (bubble). Justru itu, untuk mencegah bubble di sektor finansial kita meletus, pengelolaan moneter yang menjadi tanggung jawab BI semakin mahal lagi. Artinya, langkah-langkah operasional BI pun dituntut lebih efektif.

Untuk itu, ke dalam, BI dituntut tampil sebagai tim kerja yang solid. Tapi ini bisa tidak mudah. Sebagai sebuah tim, BI telanjur mengalami luka-luka akibat politisasi dalam rangka proses pemilihan Gubernur BI kemarin. Jadi, Boediono dituntut segera menyembuhkan luka-luka itu. Boediono harus mampu menumbuhkan kembali soliditas BI.

Ke luar, terutama ke jajaran pemerintahan, tantangan yang dihadapi Boediono sebagai pimpinan BI mungkin tak terlalu sulit. Pengalaman dan hubungan baik dengan eksekutif selama ini amat bisa diharapkan membuat Boediono mampu membawa BI malangkah harmonis dengan pemerintah.

Namun penyamaan persepsi BI dan pemerintah mengenai target maupun strategi kerja sama perlu dirumuskan kembali. Ini terutama terkait dengan persoalan banyaknya dana perbankan yang diparkir dalam instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Persoalan tersebut tidak sehat karena mengakibatkan sektor riil tak kunjung bergerak.

Walhasil, Boediono juga dituntut mampu merangkul pemerintah untuk merumuskan langkah bersama yang mampu menstimulasi dana perbankan mengalir ke sektor riil. Kita percaya, sebagai sosok yang selama ini mengkoordinasi tim ekonomi pemerintah, Boediono tak bakal kesulitan membawa BI menjadi mitra kerja pemerintah dalam rangka menumbuhkembangkan ekonomi nasional.

Jadi, tungku ataupun singgasana, kursi Gubernur BI sejatinya bukan untuk berleha-leha. Kursi itu adalah kepercayaan dan kesempatan untuk bekerja keras. Kita yakin, Boedional tak bakal menyia-nyiakan kepercayaan dan kesempatan itu.***
Jakarta, 21 Mei 2008

Tidak ada komentar: