18 Mei 2008

Seabad Kebangkitan Nasional

Seabad Kebangkitan Nasional, yang genap jatuh pada Selasa besok, 20 Mei 2008, mestinya menjadi sebuah titik yang tegas menunjukkan bahwa kita sudah mencatat kemajuan dalam kehidupan berbangsa. Artinya, dibanding seabad silam, kehidupan kita dalam berbangsa sekarang ini mestinya jauh lebih baik. Jauh lebih berkualitas. Perjalanan panjang selama seratus tahun mestinya membuat kebangsaan kita benar-benar kokoh dan matang.

Tetapi apa yang kita lihat, kita dengar, kita rasakan, dan kita praktikkan sekarang ini justru lebih merupakan kemunduran. Semangat kebangsaan kita seolah luntur. Dalam hari-hari ini, setelah seratus tahun Kebangkitan Nasional, kehidupan keseharian kita cenderung terfragmentasi dalam kotak-kotak primordialisme. Kita seolah lupa atau tak hirau lagi terhadap spirit kebangkitan nasional kita.

Spirit itu adalah nasionalisme. Spirit kebangsaan ini, yang mula pertama dihembuskan pergerakan Budi Utomo sejak awal berdiri pada 209 Mei 1908, yang kemudian menginspirasi sekaligus menjadi roh perjuangan kita dalam mencapai kemerdekaan. Dengan spirit itu, kaum muda bisa mendeklarasikan Sumpah Pemuda 1928. Sebuah deklarasi yang sangat bermakna dalam perumusan sekaligus penyatuan visi kebangsaan nasional kita. Sebuah deklarasi yang kemudian menjadi fondasi dalam setiap tahapan perjuangan kemerdekaan kita.

Dengan semangat nasionalisme pula, kemerdekaan Indonesia bisa diproklamasikan dwi tunggal Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 dengan dukungan penuh segenap komponen bangsa kala itu. Demikian juga dalam tahapan-tahapan upaya mempertahankan maupun mengisi kemerdekaan Indonesia: nasionalisme menjadi roh kehidupan kebangsaan kita. Menjadi spirit yang senantiasa berkobar-kobar.

Semangat nasionalisme kebangsaan kita juga menjadi inspirasi banyak bangsa lain dalam membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Dari kungkungan keterbelakangan.

Namun sekarang ini justru kita yang harus banyak belajar kepada bangsa-bangsa lain mengenai kesadaran tentang nasionalisme kebangsaan ini. Kita perlu meneguhkan kembali kesadaran bahwa nasionalisme adalah fundamen berbangsa. Kita perlu menggelorakan kembali semangat nasionalisme sebagai roh kehidupan bersama kita sebagai sebuah bangsa.

Itu semua sungguh perlu karena kini kita cenderung memaknai nasionalisme dalam perspektif sempit. Dalam bingkai primordialisme. Dalam kepentingan-kepentingan dangkal dan sesaat. Kita seolah sudah kehilangan moralitas dalam melakoni berbagai aspek kehidupan berbangsa. Nilai-nilai luhur berbangsa, yang menjadi sumbu semangat nasionalisme, telah terdegradasi menjadi pragmatisme. Kegiatan pendidikan, misalnya, cenderung diperlakukan sebagai ajang bisnis. Pendidikan bukan lagi proses budaya yang menjadi hak bersama, melainkan seolah hanya proses pengasahan intelektual yang cuma bisa dinikmati kelompok berkemampuan secara ekonomi.

Begitu juga kegiatan politik. Kegiatan politik telah terdistorsi menjadi sekadar proses meraih dan mempertahankan kekuasaan. Politik bukan lagi proses mencapai tujuan bersama dalam bingkai nasionalisme kebangsaan.

Tapi kita tak selayaknya larut dalam sesal. Peringatan seabad Kebangkitan Nasional patut kita jadikan momentum untuk melakukan koreksi mendasar mengenai visi dan tujuan kebangsaan itu. Kita perlu meneguhkan kembali konsep nasionalisme sebagai spirit kebangsaan kita dalam menapaki hari-hari ke depan ini. Artinya, momentum seabad Kebangkitan Nasional patut kita jadikan sebagai tonggak Kebangkitan Nasional Kedua.

Tak perlu berkecil hati. Kita masih mungkin bisa bangkit kembali. Kita belum benar-benar bangkrut. Keprihatinan kita mengenai kondisi nasionalisme kebangsaan kita sekarang adalah modal berharga untuk itu. Yang penting, kesadaran ini harus kita wujudkan menjadi spirit dan komitmen bersama untuk bangkit meninggalkan segala kebobrokan.***
Jakarta, 18 Mei 2008

Tidak ada komentar: