28 Mei 2008

Berantas Pungli di Sektor Transportasi!

Seperti di bidang-bidang lain, jasa angkutan umum jalan raya sudah lama digayuti benalu. Benalu itu adalah pungli alias pungutan liar. Mulai pengurusan izin trayek sampai uji kelaikan jalan kendaraan, pungli selalu hadir. Selalu menerkam dan tak pernah bosan menghisap korban.

Belum lagi dalam operasional sehari-hari, pungli juga hadir di banyak sudut. Mulai pungli preman di terminal sampai pungli oknum petugas berseragam di jalan raya. Semua hadir begitu kasatmata, tanpa malu-malu, meski tak pernah diakui.

Namun diakui ataupun tidak, pungli sudah menjadi benalu dalam kegiatan jasa angkutan darat. Pungli boleh dikata telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam setiap geliat pengelolaan transportasi umum jalan raya. Orang boleh mengeluh dan mencaci-maki, tapi pungli tak pernah mati. Pungli terus saja menghisap korban. Di perkotaan maupun daerah pinggiran, sama saja. Pungli merajalela. Korban sungguh-sungguh tak berdaya. Korban telanjur tak punya pilihan kecuali terus menyetor dana pungli.

Jelas, pungli mengakibatkan penyelenggaraan jasa angkutan umum jalan raya tak pernah bisa efisien. Tak pernah bisa sehat. Sebab, setoran pungli sudah bukan lagi pengeluaran secuil dan tidak pula bersifat insidental. Setoran pungli praktis telah menjadi komponen pengeluaran tersendiri. Meski secara akuntansi tak pernah resmi menjadi pos tersendiri, pungli sudah merupakan sumber pengeluaran rutin dalam penyelenggaraan jasa angkutan umum kita. Artinya, jumlah dana yang digelontorkan sebagai setoran pungli tak tergolong kecil.

Justru itu, pungli sungguh merupakan salah satu sumber ekonomi biaya tinggi dalam penyelenggaraan jasa angkutan darat. Namun ini seolah tak pernah dianggap sebagai masalah serius. Paling tidak, karena sejauh ini pungli tak pernah sungguh-sungguh dibasmi. Tak pernah konsisten dan konsekuen diberantas.

Memang komitmen tentang pemberantasan pungli ini amat sering terlontar ke tengah publik. Tapi langkah pemerintah atau aparat berwenang ke arah itu cenderung sekadar gebrakan sesaat. Terkesan setengah hati. Hanya hangat-hangat tahi ayam. Sekadar mencari simpati publik. Sekadar ajang tebar pesona.

Akibatnya, itu tadi, penyelenggaraan jasa angkutan umum tak pernah efisien. Amat digayuti ekonomi biaya tinggi. Tak mengherankan, karena itu, sedikit saja keseimbangan terganggu, jasa angkutan umum serta-merta limbung. Langsung kelimpungan. Seperti dalam menghadapi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, yang pekan lalu diberlakukan pemerintah, pengelola jasa angkutan umum seketika menjerit. Mereka menjerit, karena beban pengeluaran bertambah berat. Terlebih lagi, amat mungkin kenaian harga BBM justru meningkatkan "tarif" pungli.

Kenyataan seperti itu mestinya tak terjadi kalau saja fenomena pungli bisa diberantas tuntas. Kenaikan harga BBM bersubsidi tak mesti membuat pengelola jasa angkutan umum seolah dilanda kiamat andai praktik pungli benar-benar dibasmi. Mereka tak harus sampai menggelar aksi menolak kenaikan harga BBM dengan menggelar mogok operasi. Juga mereka tak harus menuntut penyesuaian tarif yang nyata-nyata hanya berdampak menambah berat beban pengguna jasa.

Penghapusan praktik pungli memang bisa menjadi kompensasi kenaikan harga BBM. Tetapi bola tentang itu tidak berada di tangan pengelola jasa angkutan umum. Pemberantasan praktik pungli amat bergantung pada kemauan dan keseriusan pemerintah. Sebab, posisi tawar pengelola jasa angkutan umum sendiri terlalu lemah untuk memaksakan gerakan ke arah sana. Kekuatan memaksa itu lebih berada di tangan pemerintah selalu institusi pemegang kekuasaan.

Jadi, adakah kemauan pemerintah untuk sungguh-sungguh memberantas segala bentuk praktik pungli? Ini sebuah pernyataan klasik yang menuntut jawaban tidak klasik: bukan hanya gebrakan sesaat atau apalagi cuma jadi janji kosong.***
Jakarta, 28 Mei 2008

Tidak ada komentar: