11 Mei 2008

Darurat, Masih Saja Berwacana!

Penimbunan bahan bakar minyak (BBM) dalam sepekan terakhir berlangsung marak. Di berbagai daerah, orang seolah berlomba melakukan tindakan tersebut. Salahkah?

Secara etis maupun ekonomis, tindakan itu jelas tak bisa dibenarkan. Secara etis, tindak penimbunan termasuk perilaku culas. Egoistis. Tindak penimbunan adalah wujud nyata perilaku aji mumpung. Memanfaatkan kesempatan dan kesempitan.

Karena itu, secara ekonomi, tindak penimbunan berimplikasi merugikan kepentingan orang banyak. Keseimbangan pasokan dan penyerapan barang terganggu. Bahkan kelangkaan jadi terpicu.

Alasan itu pula yang membuat aparat kepolisian tak bisa tinggal diam. Dengan atau tanpa pengaduan, mereka tergerak turun tangan melakukan penindakan. Seperti dalam kasus penimbunan BBM sekarang ini, sejumlah orang di sejumlah daerah, yang diduga kuat melakukan penimbunan, diamankan aparat.

Tapi apakah dengan demikian gejala penimbunan BBM ini segera berakhir? Tampaknya tidak. Malah, boleh jadi, fenomena tersebut bakal kian menjadi-jadi. Bakal semakin marak. Banyak orang tampaknya tetap tak takut melakukan tindak penimbunan, meski berisiko harus berurusan dengan polisi. Bagi mereka -- atau bahkan kita semua, sebenarnya -- menimbun BBM sekarang ini adalah tindakan taktis-ekonomis. Sebab, info sudah jelas dan gamblang. Bahwa tak lama lagi harga BBM naik. Kenaikan itu, sejauh keterangan kalangan pejabat, signifikan pula.

Jadi, menimbun BBM sekarang ini bukan lagi tindakan spekulasi. Bukan dalam rangka menyongsong keadaan tertentu yang bisa terjadi ataupun bisa pula tidak. Bukan pula sebagai tindakan rekayasa agar kondisi pasar terpengaruh dan berubah. Menimbun BBM sekarang ini sepenuhnya merupakan tindakan rasional, meski tak otomatis etis. Tindakan itu adalah dalam rangka menyongsong sesuatu yang sudah pasti segera terjadi, yaitu harga BBM menjadi lebih mahal setelah pemerintah resmi mengetuk palu kenaikan.

Walhasil, dalam perspektif itu, tindak penimbunan BBM pada hari-hari sekarang ini tidak bisa dikatakan salah. Yang salah bin keliru adalah pemerintah. Kenapa rencana menaikkan harga BBM diumbar-umbar -- notabene dengan tenggang waktu relatif panjang, sehingga membuka kesempatan bagi masyarakat untuk melakukan pengamanan?

Mungkin pemerintah tidak ingin membuat masyarakat dilanda kaget atau bahkan terguncang (shock) jika kenaikan harga BBM dilakukan tiba-tiba, tanpa pemberitahuan jauh sebelumnya. Mungkin pemerintah ingin tampil santun. Pemerintah tak mau terkesan bertindak semena-mena. Jadi, rencana kenaikan harga BBM diumumkan sejak jauh hari dianggap sebagai tindakan sosialisasi.

Namun mestinya disadari bahwa BBM adalah komoditas strategis, dan karena itu amat sensitif terhadap segala bentuk info, wacana, ataupun rumor. Jangankan info resmi, bahkan sekadar desas-desus saja amat gampang membuat masyarakat panik. Jadi, tindak penimbunan BBM sekarang ini pun adalah wujud kepanikan masyarakat yang justru disulut oleh info yang dilontarkan pemerintah sendiri.

Mestinya pemerintah sadar bahwa situasi dan kondisi yang berkaitan dengan masalah BBM sekarang ini sudah terbilang kritis. Artinya, yang dibutuhkan adalah tindakan darurat, bukan wacana yang justru menumbuhkan kepanikan masyarakat.

Berwacana memang baik dan sehat, karena berbagai pemikiran bisa dibenturkan secara sehat. Tapi wacana juga menjadi tidak sehat jika melahirkan kepanikan. Kepanikan sendiri berbahaya karena bisa mendorong orang melakukan tindakan apa pun.

Karena itu, mestinya rencana kenaikan BBM tidak diungkapkan kepada publik. Rencana tersebut seharusnya dipendam rapat-rapat. Sementara kenaikan itu sendiri begitu saja dilakukan sesuai perhitungan yang paling mungkin. Masyarakat sendiri tak akan terlalu shock. Toh mereka sudah tahu dan mengerti bahwa kenaikan BBM merupakan pilihan tak terhindarkan lagi.***
Jakarta, 11 Mei 2008

Tidak ada komentar: