15 Mei 2008

Harga Pangan Stabil?

Pernyataan Menteri Perdagangan Mari Elka Pengestu bahwa harga pangan kini stabil mestinya melegakan. Melegakan, karena harga stabil merupakan pertanda bahwa gejolak pasar sudah mampu dikendalikan. Pertanda harga tidak melonjak-lonjak lagi.

Tapi pemerintah jangan menepuk dada dulu. Pertama, karena realitas di lapangan terkesan menunjukkan gambaran lain. Harga pangan masih saja cenderung bergejolak. Pasar, dalam kaitan ini, tampaknya terpengaruh rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Kalaupun benar harga pangan kini stabil, itu tak lantas berarti melegakan. Bagi masyarakat kebanyakan, harga pangan sekarang ini tetap saja sulit dijangkau. Harga pangan telanjur melejit dan tidak turun lagi. Jadi, bagaimana mungkin kenyataan tersebut bisa melegakan!

Kedua, kondisi stabil itu sendiri -- sekali lagi jika benar demikian -- boleh jadi hanya gejala sementara. Sekadar jeda sejenak sebelum akhirnya memperoleh momentum untuk bergejolak lagi. Momentum itu sendiri kini sudah di depan mata, yaitu pengumunan kenaikan harga BBM. Jadi, begitu pemerintah resmi mengumumkan kenaikan harga BBM, harga aneka barang dan jasa -- termasuk komoditas pangan -- niscaya terpicu melonjak lagi. Semakin membuat rakyat kebanyakan sulit menjangkau.

Kenyataan tersebut jelas memprihatinkan. Sangat mengiris hati. Bagaimanapun, bagi masyarakat kebanyakan -- terutama lapisan bawah -- akses terhadap pangan kini sudah menjadi pertaruhan hidup. Harga pangan yang semakin tak bisa dijangkau lagi serta-merta menghadapkan mereka pada kondisi menyesakkan. Kelaparan mendera. Bahkan, seperti sejumlah kasus yang terungkap ke permukaan, deraan perut lapar sampai membuat orang dijemput maut!

Secara keseluruhan, mereka yang rentan didera kelaparan ini sekarang sungguh berjibun. Sekitar 19,1 juta jiwa, sesuai program penyaluran beras untuk rakyat miskin (raskin) yang menjadi tanggung jawab Perum Bulog. Sangat boleh jadi, mereka yang patut tersentuh program raskin ini sekarang sudah jauh lebih banyak. Sebab angka 19,1 juta jiwa itu sendiri teridentifikasi sebelum harga pangan bergejolak hebat sejak beberapa bulan terakhir. Lalu, setelah harga BBM nanti resmi dinaikkan, angka tentang itu boleh diyakini semakin memprihatinkan lagi.

Karena itu, alokasi program rakin ke depan ini perlu ditingkatkan secara signifikan. Jika tidak, kasus-kasus kelaparan bisa bermunculan. Paling tidak, kian banyak saja orang terpaksa makan nasi aking.

Tapi kebutuhan pangan tak hanya meliputi beras. Justru itu, tantangan terpenting bagi pemerintah sekarang ini bukan sekadar memperbesar alokasi beras untuk program raskin. Juga bukan mampu meredakan gejolak harga pangan. Masalah yang jauh lebih penting dan mendasar adalah bagaimana pangan bisa mudah diperoleh rakyat. Artinya, dari sisi harga, pangan bisa tetap dijangkau. Dari sisi ketersediaan, pangan juga selalu terjamin alias tidak pernah kurang.

Itu berarti, ketahanan pangan di tingkat keluarga harus bisa dibangun. Tampaknya, masalah ini sudah sedikit terlupakan. Selama ini, pemerintah terkesan cenderung terpaku pada ketahanan di tingkat nasional ataupun regional. Itu juga tidak selalu dalam kondisi meyakinkan. Ketahanan pangan nasional bahkan acap terkesan rapuh. Gejolak harga maupun kelangkaan pasokan amat gampang terpicu dengan dampak yang sering menghebohkan. Krisis minyak goreng, gula pasir, beras, juga tepung terigu adalah beberapa contoh yang begitu gamblang memberi gambaran bahwa ketahanan pangan nasional kita tak hanya rapuh, melainkan juga semu. Itu, agaknya, karena ketahanan pangan di tingkat keluarga sudah tinggal sejarah.

Mungkin, karena itu, paradigma pembangunan ekonomi secara umum perlu diubah. Paradigma yang menempatkan mekaniske pasar sebagai panglima terbukti amat berisiko. Seperti gejala belakangan ini: harga pangan bergejolak hebat dan tak bisa reda di tingkat semula. Stabilitas harga yang terbentuk tak serta-merta melegakan alias tetap mencekik!***
Jakarta, 15 Mei 2008

Tidak ada komentar: