12 Mei 2008

BLT Saja Tak Cukup

Bagi kaum miskin, kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi -- yang tak lama lagi dilakukan pemerintah -- adalah malapetaka. Pengalaman menunjukkan, kenaikan harga BBM selalu membuat harga aneka barang dan jasa ikut-ikutan terbang tinggi. Kenyataan tersebut sekarang ini bisa menjadi malapetaka karena jauh sebelum harga BBM naik, harga aneka barang dan jasa -- terutama komoditas pangan -- sudah lebih dulu menggapai langit.

Jadi, kenaikan harga BBM kali ini sungguh amat memukul
sekaligus menekan kaum miskin. Kehidupan mereka kian dalam tenggelam di kubang kemiskinan. Mereka semakin tak berdaya secara ekonomi.

Dari segi jumlah, mereka yang berkubang dalam kemiskinan itu juga semakin banyak. Sebuah perkiraan menyebutkan, kenaikan harga BBM kali ini berdampak menambah jumlah penduduk miskin sekitar 15 juta jiwa.

Menurut data Badan Pusat Statistik, tahun lalu jumlah penduduk miskin di negeri kita berjumlah sekitar 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dibanding total penduduk Indonesia. Jika perkiraan di atas dijadikan pegangan, berarti pascakenaikan harga BBM nanti total penduduk miskin di Indonesia ini melonjak menjadi 52 juta jiwa lebih.

Itu sungguh angka yang memprihatinkan. Dengan angka 52 juta, berarti hampir seperempat penduduk kita tergolong miskin. Itu amat tidak elok karena mendistorsi makna pembangunan ekonomi selama ini. Seolah-olah kegiatan pembangunan ekonomi tak berdampak mengangkat derajat kehidupan rakyat.

Karena itu, menyiapkan program kompensasi kenaikan harga BBM bagi warga miskin sungguh merupakan keharusan. Jika tidak, langkah pemerintah menaikkan harga BBM kali ini bisa menjadi tragedi kemanusiaan. Tragedi itu -- notabene sudah mulai menggejala -- bisa berupa bencana busung lapar, gizi buruk, stres atau gangguan jiwa, bahkan juga tindak bunuh diri. Belum lagi, secara sosial, tindak kriminalitas juga bisa semakin kental menggejala.

Namun justru mengingat kemungkinan itu pula, program kompensasi kenaikan harga BBM bagi kaum miskin tak cukup sekadar berupa pemberian bantuan langsung tunai (BLT) sebagaimana disiapkan pemerintah. Bahkan meski diembel-embeli plus pembagian catu bahan pangan, BLT sama sekali tak menyentuh akar masalah. BLT jelas bersifat sekadar wujud belas kasih. Cuma charity. BLT tak memberdayakan kaum miskin secara ekonomi. Apalagi BLT diberikan secara temporer, yaitu hanya selama setahun.

Jelas, karena itu, BLT sekadar pelipur lara bagi kaum miskin. BLT sekadar penghiburan agar mereka melupakan sejenak beban kehidupan yang semakin mencekik sebagai dampak kenaikan harga BBM.

Tapi itu tak berarti BLT sama sekali tak bermakna. Bagi kaum miskin, BLT tetap punya arti. Tetap bermanfaat. Namun jangan jadikan BLT sebagai satu-satunya bentuk kompensasi kenaikan harga BBM. Bentuk lain kompensasi itu, yang lebih bersifat mendasar dan strategis -- memberdayakan kaum miskin -- juga perlu disiapkan. Perlu segera dirumuskan.

Program pemberdayaan ekonomi bagi kaum miskin ini diperkukan bukan sebagai charity ataupun penghiburan. melainkan hak. Kaum miskin berhak diberdayakan secara ekonomi. Sebab kenaikan harga BBM begitu niscaya berdampak menghempaskan mereka ke lembah kesengsaraan yang makin dalam.

Itu perlu kita ingatkan karena kita khawatir pemerintah lupa. Atau tak menganggap urgen hanya karena merasa bahwa selama ini sudah menggulirkan sejumlah program pemberdayaan ekonomi, termasuk untuk kaum miskin.

Itu memang betul. Namun acap kali program-program pemberdayaan ekonomi itu tidak berkesinambungan. Juga tak terintegrasi sebagai satu kesatuan program yang saling melengkapi. Program-program itu lebih cenderung berjalan sendiri-sendiri dalam semangat ego sektoral.

Justru itu, efektivitas program-program pemberdayaan ekonomi ini sering-sering tidak jelas. Tidak terukur. Ditambah aspek akuntabilitas yang memprihatinkan, program-program itu hanya indah di atas kertas. Hanya sukses sebagai laporan normatif.

Jelas, yang kini dibutuhkan bukan program-program seperti itu. Yang dibutuhkan adalah program yang utuh terintegrasi serta terukur mampu segera memberi sumber penghidupan kepada kaum miskin secara berkelayakan.***
Jakarta, 12 Mei 2008

Tidak ada komentar: