26 Mei 2008

Harga-harga Wajib Disiasati

Pasar tidak pernah punya nurani. Juga tak pernah mengindahkan etika. Pasar hanya mengenal peluang dan kesempatan. Pasar hanya peduli terhadap keuntungan.

Karena itu, setelah harga bahan bakar minyak (BBM) naik terhitung sejak Sabtu dinihari pekan lalu, pasar langsung bereaksi. Harga-harga serentak naik. Tanpa dikomando, tanpa bisa dicegah. Tengok saja harga kebutuhan pokok pangan masyarakat. Menurut pemberitaan, harga kebutuhan pokok di berbagai daerah kembali meroket.

Padahal sebelum harga BBM resmi dinaikkan, harga kebutuhan pokok pangan ini sudah membuat masyarakat kebanyakan menjerit. Dipicu oleh pengumunan pemerintah, beberapa pekan lalu, harga kebutuhan pokok sontak melejit mendahului rencana pemerintah menaikkan harga BBM.

Padahal pula, tanpa lonjakan itu pun, harga kebutuhan pokok ketika itu sudah membuat masyarakat kelimpungan. Harga kebutuhan pokok saat itu sudah menjilat langit. Konon kondisi tersebut merupakan dampak atau pengaruh gejolak harga pangan di tingkat global.

Walhasil, kenaikan harga kebutuhan pokok kali ini sungguh sudah kelewatan. Dirunut setahun ke belakang, kenaikan itu paling tidak merupakan kali ketiga. Dengan tiga kali kenaikan itu, interval lompatan harga begitu signifikan. Karena itu, harga kebutuhan pokok kini sudah sungguh menyesakkan.

Jadi, amat beralasan masyarakat menjerit. Ibarat petinju, masyarakat sekarang ini benar-benar dilanda mabuk pukulan. Ditambah beban harga-harga barang lain maupun jasa yang juga tanpa kecuali tersulut melejit setelah harga BBM resmi dinaikkan, kondisi itu sungguh berdampak tidak menyehatkan kehidupan sosial. Daya beli yang semakin terkikis potensial melahirkan aneka bentuk penyakit kemasyarakatan, terutama tindak kriminalitas.

Tapi, itu tadi, pasar tidak pernah hirau. Pasar tidak punya nurani. Tidak pernah peduli terhadap sistem nilai sosial. Terhadap etika. Pasar hanya mengenal satu doktrin: peluang menguntungkan, betapa pun kecilnya, tak boleh dilewatkan.

Namun tak berarti pasar tak bisa diintervensi. Arah perkembangan pasar masih mungkin bisa dibelokkan atau bahkan direm. Pasar masih mungkin bisa ditaklukkan melalui campur tangan kekuasaan. Lewat kebijakan atau regulasi.

Ini berarti, pemerintah harus maju berperan. Pemerintah dituntut turun tangan. Pemerintah tak bisa membiarkan pasar bergerak menurut hukum, mekanisme, ataupun nilai-nilainya sendiri. Manakala pasar sudah nyata-nyata bergerak menyengsarakan rakyat, pemerintah wajib melakukan intervensi. Terlebih di negara yang mengagungkan keadilan sosial seperti Indonesia ini.

Mengintervensi pasar yang bergerak liar serta menyengsarakan rakyat merupakan salah satu tugas moral pemerintah selaku pemegang kewenangan yang dipercayakan rakyat. Adalah aneh jika pemerintah menghindari atau bahkan mengingkari tugas itu. Pemerintah tak cukup sekadar mengaku memiliki kesadaran, komitmen, atau apa pun namanya. Bagaimanapun, pemerintah juga harus bertindak. Harus melakukan action.

Pemerintah tak bisa berdalih bahwa pergerakan pasar sulit bisa dikendalikan karena faktor-faktor di luar jangkauan. Dalih demikian terkesan naif sekaligus menafikan kenyataan bahwa pemerintah dibentuk justru untuk menghadapi kondisi-kondisi seperti itu.

Untuk itu pula, maka pemerintah diberi kekuasaan. Jadi, dengan kekuasaan di tangan, mestinya tak ada hal-hal yang tak bisa dijangkau pemerintah. Apa pun, mestinya, bisa disentuh. Bisa ditangani.

Jadi, lonjakan harga barang dan jasa pascakenaikan harga BBM sekarang ini tak beralasan tak bisa ditangani. Masalah tersebut juga wajib disiasati. Adalah amat tidak patut jika pemerintah cenderung sekadar berharap pasar bergerak ramah alias tak membuat rakyat menjerit sengsara. Toh, mestinya, sudah disadari bahwa pasar tak pernah punya nurani.***
Jakarta, 25 Mei 2008

Tidak ada komentar: