07 Mei 2008

Momok Inflasi

Inflasi niscaya menjadi momok pada hari-hari mendatang ini. Sebagai momok, inflasi kian menjadi sesuatu yang menggusarkan. Juga membangkitkan perasaan miris. Sumbernya adalah kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang tak lama lagi dilakukan pemerintah.

Karena sudah menjadi keputusan pemerintah melalui sidang kabinet, Senin lalu, ihwal kenaikan harga BBM ini bukan lagi spekulasi ataupun rumors. Kenaikan tersebut berlaku efektif tinggal menunggu ketok palu. Bagi pemerintah, kenaikan harga BBM bersubsidi adalah pilihan tak terelakkan. Demi mengamankan APBN agar sehat dan produktif di tengah tekanan harga minyak dunia yang terus meroket.

Tapi justru itu yang membuat risiko inflasi di hari-hari mendatang ini begitu jelas membayang. Terlebih, meski kenaikan harga BBM ini belum berlaku efektif -- bahkan soal besaran kenaikan itu sendiri masih dalam bahasan -- harga sejumlah barang, khususnya komoditas kebutuhan pokok masyarakat, sudah langsung terkerek naik.

BBM sendiri, sebagai komoditas vital dan strategis, merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap laju inflasi. Tak terkecuali kali ini. Kenaikan harga BBM pasti melambungkan inflasi.

Cuma, kali ini dampak inflatoar kenaikan harga BBM ini menjadi momok karena laju inflasi sudah cenderung terus membubung. Sejak Januari, bahkan juga sepanjang tahun lalu, inflasi terus menggapai langit. April kemarin, misalnya, inflasi tahunan (year on year) mencapai 8,96 persen. Ini naik dibanding posisi Maret sebesar 8,17 persen, Februari 7,40 persen, dan Januari 7,36 persen. Sementara sepanjang tahun lalu, tingkat inflasi tahunan ini rata-rata di kisaran lima persen.

Dengan kecenderungan seperti itu, jelas inflasi pascakenaikan harga BBM nanti semakin melangit. Jika benar-benar tak terkendali, bukan tidak mungkin tingkat inflasi di hari-hari mendatang ini mencapai dua digit alias menembus 10 persen. Terlebih, harga komoditas pangan masih serius menjadi faktor pendorong lain.

Itu yang membuat gusar dan miris. Betapa tidak, karena inflasi berimplikasi menurunkan daya beli. Artinya, terutama bagi kelompok sosial di lapisan bawah, inflasi yang makin menggila adalah malapetaka. Derajat kesejahteraan kian terkikis. Semakin melorot.

Dengan perspektif itu, jelas tingkat kemiskinan potensial bertambah parah. Kemiskinan bukan saja bertambah dalam, melainkan juga semakin meluas. Mereka yang selama ini sudah berkubang dalam kemiskinan semakin megap-megap didera ketidakberdayaan faktor ekonomi. Sementara mereka yang semula dalam posisi masih relatif sejahtera jadi terperosok masuk kategori kelompok miskin.

Jadi, kenaikan harga BBM kali ini bukan lagi seolah pil pahit. Kalau saja tak benar-benar mampu dikendalikan, bisa-bisa dampak inflatoar kenaikan komoditas tersebut bak racun yang mematikan.

Itu berarti, pemerintah amat dituntut bekerja ekstra keras menjaga laju inflasi terkait kenaikan harga BBM nanti. Pemerintah harus benar-benar mampu mengendalikan laju inflasi tetap dalam batas-batas normal dan wajar. Artinya, dampak inflatoar kenaikan harga BBM ini mesti bisa dikendalikan secara cermat dan akurat. Dengan demikian, inflasi di hari-hari mendatang ini tidak lantas menjadi malapetaka yang membuat masyarakat kian sengsara dan melarat.

Untuk itu pula, jaring pengaman sosial memang mutlak perlu ditebarkan ke tengah masyarakat miskin. Cuma, bentuk dan metodenya mesti benar-benar dirumuskan sebagai katup penyelamat masyarakat miskin agar tidak jatuh ke lembah kemelaratan. Jaring pengaman sosial jangan sampai membuat kelompok sasaran terkondisi keenakan dan sama sekali tak terberdayakan.***
Jakarta, 07 Mei 2008

Tidak ada komentar: