27 April 2008

Penggeledahan DPR

DPR wajib mendukung upaya pemberantasan korupsi. Ini bukan sekadar persoalan etis, melainkan merupakan tuntutan politis. Jelas DPR sadar betul mengenai masalah tersebut. Bahkan kesadaran itu pula yang dulu mendorong DPR berinisiatif menggulirkan proses kelahiran lembaga superbody yang kini dikenal sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Karena itu sungguh tidak masuk akal jika kemudian DPR disebut-sebut menghalang-halangi upaya KPK melakukan penggeledahan ruangan anggota DPR, khususnya ruangan anggota Komisi IV Al Amin Nasution yang diduga menerima uang suap dalam proses pengalihan fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Kabar tentang itu tidak masuk akal dan sekaligus terasa lucu karena menafikan fakta historis bahwa DPR justru punya andil besar melahirkan KPK dengan segala kewenangannya -- semata dalam rangka mengefektifkan pemberantasan korupsi.

Ihwal komitmen itu bahkan ditegaskan Ketua DPR Agung Laksono. Dia tegas menyebutkan bahwa pihaknya sama sekali tidak bermaksud menghalang-halangi langkah KPK untuk melakukan penggeledahan di DPR. Lalu kenapa KPK tak serta-merta bisa melakukan penggeledahan itu?

Meski ketentuan perundang-undangan menempatkan KPK sebagai lembaga superbody, itu tak berarti mereka bisa semena-mena melangkah. Dalam menjalankan peran dan fungsi menegakkan hukum dalam rangka memberantas korupsi, KPK tak bisa tidak mengindahkan kepatutan. Nilai-nilai etis tetap menuntut KPK untuk tak bersikap-tindak mentang-mentang alias arogan. Mentang-mentang berwenang. Mentang-mentang diberi mandat penuh oleh undang-undang.

Jadi, dalam melakukan penggeledahan di DPR -- juga di tempat-tempat lain -- KPK tidak bisa main selonong begitu saja. Paling tidak, secara sosial dan etis, KPK dituntut kulo nuwun lebih dulu kepada pihak yang menjadi tuan rumah. Jika tidak, itu tadi, KPK terjebak oleh kewenangannya sendiri. KPK menjadi lembaga yang tidak mengindahkan kepatutan. Arogan. Sewenang-wenang.

Boleh jadi, itu pula yang disentil pimpinan DPR sehingga mereka tak serta-merta mengizinkan KPK melakukan penggeledahan di DPR. Sentilan seperti itu wajar-wajar saja. Sekadar mengingatkan. Bahwa di balik kewenangan legal-formal, nilai-nilai sosial dan etis tetap patut juga diiindahkan. Terlebih lagi kalau penggeledahan itu ternyata tak hanya dilakukan terhadap ruangan Al Amin, melainkan juga ruangan-ruangan anggota lain DPR.

Bagi DPR, sentilan kepada KPK terkait penggeledahan itu bukan cerminan sikap genit, sok terhormat, jaim alias jaga imej, atau apalagi merupakan upaya menghalang-halangi langkah pemberantasan korupsi. Sentilan itu lebih merupakan permintaan agar penggeledahan dilakukan tertib, prosedural, dan proporsional menurut konteks ruang maupun tindakan. Dengan demikian, penggeledahan tidak serta-merta menimbulkan kesan bahwa lembaga DPR diobok-obok KPK.

Kesan DPR diobok-obok KPK sungguh tak elok. Bagaimanapun, DPR adalah lembaga kenegaraan yang tetap harus dihormati. Jika kehormatan sudah tanggal dan terinjak-injak, maka DPR tak lagi punya wibawa. Konsekuensinya, secara etis, kelembagaan DPR tak lagi pantas mengemban peran dan fungsi memperjuangkan kepentingan rakyat.

Tampaknya, kedua pihak -- DPR dan KPK -- sudah saling sepaham mengenai masalah etis terkait penggeledahan ruangan anggota DPR ini, Komunikasi dan saling pengertian sudah berjalan. Buktinya, menurut rencana, penggeledahan itu bisa dilakukan pada Senin ini.

Kenyataan itu sungguh positif. Pertanda kedua belah pihak menghargai posisi maupun peran masing-masing. Selebihnya, itu menunjukkan bahwa kedua belah pihak memiliki kesediaan saling menunjang dalam gerakan pemberantasan korupsi. Ini melegakan di tengah skeptisisme publik yang telanjur tumbuh menyangkut komitmen DPR terhadap isu tersebut.***
Jakarta, 27 April 2008

Tidak ada komentar: