23 April 2008

Ancaman Stagflasi

Gejolak harga minyak di pasar dunia tak juga reda. Kemarin, rekor baru tertinggi harga minyak kembali tercipta. Meski turun lagi, harga minyak sempat mencapai 120 dolar AS per barel. Padahal pertemuan OPEC di Roma diakhiri dengan penyataan tentang komitmen mereka untuk segera menambah produksi minyak.

Toh pernyataan itu seolah tak berpengaruh. Tak seperti di waktu-waktu lalu. Biasanya, komitmen seperti itu hampir selalu terbukti efektif meredakan gejolak harga minyak di pasar global.

Itu berarti, pergerakan harga minyak dunia sekarang ini sudah amat kompleks. Tak lagi terkait satu-dua faktor. Akibatnya, harga minyak cenderung liar. Sulit dikendalikan.

Justru itu, amat boleh jadi, pada hari-hari ke depan ini harga minyak masih terus menanjak. Entah sampai kapan dan entah sampai di level berapa.

Artinya, ketidakpastian menyangkut harga minyak dunia sekarang begitu kental. Ditambah krisis harga aneka komoditas pangan yang juga melonjak gila-gilaan, kenyataan itu menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan ekonomi global. Faktor harga minyak berkombinasi dengan harga komoditas pangan telah merontokkan semua asumsi dan pijakan optimisme dunia mengenai pemulihan ekonomi global. Kedua faktor itu telah merontokkan segala cara untuk menyelamatkan ekonomi dunia dari gelombang resesi.

Bagi ekonomi nasional sendiri, faktor harga minyak dan krisis harga komoditas pangan dunia ini makin mempertegas ancaman stagflasi. Pertumbuhan ekonomi domestik amat mungkin melambat jauh di bawah asumsi 6,4 persen sebagaimana tertuang dalam APBNP 2008, sementara inflasi justru membubung melampaui target 6,5 persen. Betapa tidak, karena ekonomi dunia yang lesu darah jelas membuat kinerja ekspor kita jadi melorot.

Di sisi lain, konsumsi domestik maupun investasi swasta juga semakin lunglai -- terutama akibat didera lonjakan harga komoditas pangan belakangan ini yang begitu drastis merontokkan daya beli. Tentang itu, Badan Statistik Pusat (BPS) mencatat bahwa belakangan ini inflasi cenderung menggapai langit. Maret lalu, inflasi tahunan (year on year) mencapai 8,17 persen. Sementara Februari, angka inflasi tahunan ini tercatat 7,40 persen, dan Januari 7,36 persen.

Patokan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,4 persen dalam APBNP 2008 sendiri merupakan hasil pemangkasan dari asumsi semula sebesar 6,8 persen. Dalam konteks ini, pemerintah dan DPR berupaya bersikap realistis terhadap kondisi ekonomi global. Tapi tampaknya kondisi yang berkembang jauh lebih parah dan jauh lebih rumit. Justru itu, ketahanan APBN 2008 yang sudah direvisi nyata-nyata menjadi pertaruhan manajemen ekonomi pemerintah.

Memang, pemerintah melalui Menkeu Sri Mulyani sudah mencanangkan antisipasi menyangkut ketahanan APBN ini. Menkeu menyebutkan, ketahanan APBN hasil revisi diuji dalam tempo enam bulan ke depan, terutama menyangkut asumsi-asumsi strategis seperti harga minyak. Jika dalam enam bulan ternyata sudah jebol, berarti APBN tidak sustainable alias tidak bisa dipertahankan. Karena itu, Menkeu pun tidak menampik kemungkinan revisi ulang APBN.

Tetapi, melihat perkembangan yang terjadi berkaitan dengan harga minyak mentah di pasar dunia yang cenderung terus meroket, jangan-jangan tenggang waktu enam bulan untuk menguji daya tahan APBN ini tidak cukup memadai. Boleh jadi, sebelum enam bulan pun daya tahan APBN sudah jebol. Terlebih jika faktor-faktor penopang utama, terutama target pendapatan negara dari sektor pajak maupun cukai, ternyata meleset.

Kemungkinan tentang itu sungguh bukan mustahil karena kondisi sektor riil tidak memperlihatkan gambaran cerah, melainkan justru cenderung semakin terpuruk digerus penurunan daya beli masyarakat dan peningkatan ongkos produksi sebagai dampak lonjakan harga minyak.

Jadi, tampaknya, pemerintah sudah harus menyiapkan jurus lain guna mengatasi risiko stagflasi ini. Tapi jurus apa lagi, sementara pilihan yang tersedia saja terkesan dihindari.***
Jakarta, 23 April 2008

Tidak ada komentar: