Penghentian
sementara (shotdown) kegiatan sebagian pemerintahan AS niscaya berimbas
terhadap percaturan ekonomi global -- entah imbasan itu positif ataupun
negatif. Maklum, karena AS adalah kekuatan kelas jumpo, sehingga apa pun yang
dialami negeri itu selalu berimbas terhadap lingkungan global.
Karena itu, andai
saja shotdown kegiatan pemerintahan AS ini berlangsung lama, stabilitas ekonomi
global niscaya berguncang. Banyak negara kemungkinan secara ekonomi harus
menanggung risiko tidak menguntungkan -- dan sebagian lagi boleh jadi menangguk
manfaat.
Sebagai gambaran
sementara, dua hari terakhir ini -- seiring shotdown kegiatan pemerintahan AS
sejak Selasa lalu -- kurs dolar terhadap sejumlah banyak mata uang melemah.
Lalu, pergerakan harga saham-saham di bursa AS maupun di sejumlah belahan dunia
juga mengalami penurunan relatif signifikan.
Fenomena itu
merupakan pertanda bahwa pelaku pasar uang grogi atau mungkin panik menghadapi
apa yang terjadi di AS, sehingga mereka mengalihkan portofolio dana mereka ke
belahan dunia lain -- termasuk ke Indonesia. Karena itu, kurs rupiah terhadap
dolar AS maupun indeks harga saham di bursa lokal dalam dua hari terakhir ikut
menguat.
Tetapi itu baru
gejala sementara. Andai shotdown kegiatan pemerintahan AS berlangsung lama,
imbasan yang dihadapi ekonomi Indonesia maupun dunia global bisa lain lagi.
Bagi Indonesia, misalnya, kegiatan ekspor-impor bisa menjadi seret atau bahkan
mungkin macet. Itu saja serta-merta niscaya bisa melahirkan dampak ikutan yang
merembet dan memukul berbagai sektor lain.
Karena itu, dunia
internasional sangat tidak menginginkan penghentian sementara kegiatan
pemerintahan AS ini berlangsung lama. Dunia sangat berharap kebuntuan proses
politik di AS segera menemukan jalan keluar. Dengan demikian, pemerintahan
Presiden Barack Obama bisa segera mengatasi krisis anggaran dan -- karena itu
-- shotdown pun lantas tak berlama-lama.
Namun berharap
saja tidak cukup. Artinya, pemerintah selaku pengendali kehidupan ekonomi --
juga, tentu saja, kehidupan sosial, politik, dan budaya -- tidak boleh sekadar
memantau perkembangan politik di AS terkait penyelesaian krisis anggaran di
negara tersebut. Bagaimanapun, pemerintah harus mewaspadai kemungkinan shotdown
kegiatan pemerintahan AS berlarut-larut.
Untuk itu,
pemerintah wajib menyiapkan antisipasi. Berbagai kemungkinan buruk yang bisa
dialami ekonomi nasional sebagai dampak shotdown di AS harus benar-benar
diperhitungkan. Berdasarkan itu, berbagai jurus penangkalan (exit strategy)
bisa dirumuskan.
Jadi, ibarat kata
pepatah, payung wajib disiapkan sebelum hujan. Dengan demikian, manakala
ternyata kebuntuan proses politik di AS tak segera beroleh jalan keluar --
sehingga krisis anggaran tak teratasi dan Presiden Obama pun terpaksa terus
melakukan shotdown entah sampai kapan -- pemerintah tidak menjadi kalut dan
kalang-kabut menyelamatkan ekonomi nasional. Pemerintah tinggal melaksanakan
exit strategy yang sudah disiapkan, sehingga shotdown pemerintahan AS bisa
diharapkan tidak kelewat destruktif memukul ekonomi nasional.***
Jakarta, 2
Oktober 2013