22 Oktober 2013

Kapolri Baru


Sidang paripurna DPR kemarin menyetujui Komjen Pol Sutarman menjadi Kapolri, menggantikan pejabat lama Jenderal Pol Timur Pradopo yang segera memasuki masa pensiun. Sutarman dianggap DPR memenuhi syarat kualitatif untuk memimpin korps Bhayangkara selama beberapa tahun ke depan.

Meski begitu, Sutarman tak bisa dikatakan merupakan figur terbaik untuk mengisi kursi orang nomor satu di institusi kepolisian ini. Maklum, karena Sutarman adalah satu-satunya calon yang diajukan Presiden ke DPR. Karena merupakan calon tunggal, maka kapasitas dan kapabilitas Sutarman sebagai orang yang akan mengemban tugas memimpin Polri tak bisa diperbandingan dengan figur lain.

Walhasil, Sutarman lebih merupakan figur (calon) Kapolri pilihan Presiden -- dan mendapat restu DPR. Karena itu pula, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR, netralitas Sutarman dalam memimpin institusi Polri sempat dipertanyakan.

Sebagian anggota Komisi III mengkhawatirkan Sutarman kelak membawa institusi Polri menjadi alat kepentingan penguasa, terutama dalam konteks perhelatan politik berupa Pemilu 2014. Terlebih lagi Sutarman dinilai sebagai pribadi yang loyal kepada atasan, sementara secara struktural institusi Polri sendiri berada di bawah Presiden.

Tetapi sikap-tindak objektif Polri bukan cuma harus ditujukan dalam konteks politik, khususnya pemilu. Polri juga dituntut objektif dalam segala urusan. Kasus pengepungan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menangkap seorang penyidik bernama Novel Baswedan, misalnya, tak boleh terjadi lagi.

Upaya penangkapan Novel Baswedan salah satu kasus yang terlampau terang-benderang untuk dikatakan objektif -- karena Novel Baswedan adalah penyidik KPK yang menangani kasus korupsi yang melibatkan seorang petinggi Polri, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo.

Di sisi lain, Sutarman juga sangat diharapkan mampu menyulap Polri menjadi institusi yang bersih dan transparan. Ini tantangan serius karena publik telanjur menganggap Polri sebagai salah satu institusi korup. Hasil survei yang baru-baru ini digelar KPK, misalnya, tegas menunjukkan anggapan itu.

Di mata publik, Polri memang telanjur dipandang sarat praktik beraroma korupsi. Kasus korupsi dalam proyek pengadaan simulator mengemudi di lingkungan Korps Lalu Lintas, yang melibatkan Irjen Djoko Susilo sebagai tokoh utama -- atau kasus rekening super gendut milik Aiptu Labora Sitorus -- tak pelak menjadi pembenaran atas pandangan itu.

Jadi, intinya, Sutarman mutlak harus mampu mengubah kinerja kepolisian menjadi benar-benar profesional. Untuk itu, prinsip-prinsip kerja profesional harus diterapkan secara terukur dan akuntabel. Dengan demikian, citra buruk Polri sebagai sarang korupsi dan sarat rekayasa bisa diharapkan perlahan-lahan pupus.

Dengan menerapkan prinsip kerja profesional pula, Sutarman dimungkinkan mampu memulihkan rasa aman di masyarakat. Patut disadari, rasa aman masyarakat sekarang ini telanjur terkoyak, menyusul berbagai kasus kriminalitas yang bahkan menelan korban aparat kepolisian sendiri.

Semua itu jelas bukan pekerjaan mudah. Tetapi Sutarman tak punya pilihan lain kecuali membuktikan diri bahwa dia bukan sekadar figur pilihan Presiden dan mendapat restu DPR, melainkan juga figur terbaik untuk menduduki kursi Kapolri ke depan ini.***

Jakarta, 22 Oktober 2013