Sidang paripurna
DPR kemarin menyetujui Komjen Pol Sutarman menjadi Kapolri, menggantikan
pejabat lama Jenderal Pol Timur Pradopo yang segera memasuki masa pensiun.
Sutarman dianggap DPR memenuhi syarat kualitatif untuk memimpin korps Bhayangkara
selama beberapa tahun ke depan.
Meski begitu,
Sutarman tak bisa dikatakan merupakan figur terbaik untuk mengisi kursi orang
nomor satu di institusi kepolisian ini. Maklum, karena Sutarman adalah
satu-satunya calon yang diajukan Presiden ke DPR. Karena merupakan calon
tunggal, maka kapasitas dan kapabilitas Sutarman sebagai orang yang akan
mengemban tugas memimpin Polri tak bisa diperbandingan dengan figur lain.
Walhasil,
Sutarman lebih merupakan figur (calon) Kapolri pilihan Presiden -- dan mendapat
restu DPR. Karena itu pula, dalam proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi
III DPR, netralitas Sutarman dalam memimpin institusi Polri sempat
dipertanyakan.
Sebagian anggota
Komisi III mengkhawatirkan Sutarman kelak membawa institusi Polri menjadi alat
kepentingan penguasa, terutama dalam konteks perhelatan politik berupa Pemilu
2014. Terlebih lagi Sutarman dinilai sebagai pribadi yang loyal kepada atasan,
sementara secara struktural institusi Polri sendiri berada di bawah Presiden.
Tetapi
sikap-tindak objektif Polri bukan cuma harus ditujukan dalam konteks politik,
khususnya pemilu. Polri juga dituntut objektif dalam segala urusan. Kasus
pengepungan kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menangkap
seorang penyidik bernama Novel Baswedan, misalnya, tak boleh terjadi lagi.
Upaya penangkapan
Novel Baswedan salah satu kasus yang terlampau terang-benderang untuk dikatakan
objektif -- karena Novel Baswedan adalah penyidik KPK yang menangani kasus
korupsi yang melibatkan seorang petinggi Polri, yaitu Irjen Pol Djoko Susilo.
Di sisi lain,
Sutarman juga sangat diharapkan mampu menyulap Polri menjadi institusi yang
bersih dan transparan. Ini tantangan serius karena publik telanjur menganggap
Polri sebagai salah satu institusi korup. Hasil survei yang baru-baru ini
digelar KPK, misalnya, tegas menunjukkan anggapan itu.
Di mata publik,
Polri memang telanjur dipandang sarat praktik beraroma korupsi. Kasus korupsi
dalam proyek pengadaan simulator mengemudi di lingkungan Korps Lalu Lintas,
yang melibatkan Irjen Djoko Susilo sebagai tokoh utama -- atau kasus rekening
super gendut milik Aiptu Labora Sitorus -- tak pelak menjadi pembenaran atas
pandangan itu.
Jadi, intinya,
Sutarman mutlak harus mampu mengubah kinerja kepolisian menjadi benar-benar
profesional. Untuk itu, prinsip-prinsip kerja profesional harus diterapkan
secara terukur dan akuntabel. Dengan demikian, citra buruk Polri sebagai sarang
korupsi dan sarat rekayasa bisa diharapkan perlahan-lahan pupus.
Dengan menerapkan
prinsip kerja profesional pula, Sutarman dimungkinkan mampu memulihkan rasa
aman di masyarakat. Patut disadari, rasa aman masyarakat sekarang ini telanjur
terkoyak, menyusul berbagai kasus kriminalitas yang bahkan menelan korban
aparat kepolisian sendiri.
Semua itu jelas
bukan pekerjaan mudah. Tetapi Sutarman tak punya pilihan lain kecuali
membuktikan diri bahwa dia bukan sekadar figur pilihan Presiden dan mendapat
restu DPR, melainkan juga figur terbaik untuk menduduki kursi Kapolri ke depan
ini.***
Jakarta, 22
Oktober 2013