Peringatan Hari
Pangan Sedunia, kemarin, mestinya menjadi tonggak untuk mengevaluasi sistem
ketahanan pangan nasional. Terlebih Hari Pangan 2013 mengusung tema
"Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi".
Sistem ketahanan
pangan nasional perlu dievaluasi karena sekarang ini begitu gamblang keropos.
Harga beberapa komoditas pangan silih berganti mengalami krisis. Nyaris
berurutan, mulai gula pasir, cabai merah, tepung teribu, bawang merah dan
bawang putih, daging sapi, juga kacang kedelai gonjang-ganjing bergejolak.
Pasokan mendadak menyusut drastis sehingga harga komoditas-komoditas tersebut
melejit menyentuh langit.
Krisis itu
sendiri tidak selalu bisa dijelaskan menurut perspektif ekonomi. Harga daging
sapi, misalnya, tetap menjulang tinggi meski pasokan sudah digenjot lewat
kegiatan impor. Begitu juga lonjakan harga kacang kedelai -- komoditas yang
sangat bergantung kepada impor -- ternyata tak berbanding lurus dengan
depresiasi rupiah. Kenaikan harga kedelai jauh lebih tinggi dibanding rata-rata
pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam setahun terakhir.
Kenyataan itu
merupakan petunjuk bahwa sistem ketahanan pangan kita tidak beres. Sistem
tersebut tidak menjamin pasokan atau ketersediaan pangan bisa senantiasa
terjaga aman. Di sisi lain, sistem itu juga masih tak mampu menangkal fenomena
gizi buruk di lapisan bawah masyarakat.
Dalam perpektif
produksi, sistem ketahanan pangan kita bukan cuma keteteran dalam memenuhi
kebutuhan konsumsi, melainkan juga kurang mengindahkan asas keberlanjutan
akibat penggunaan pupuk kimia yang begitu jor-joran. Sistem abai atau bahkan
tutup mata terhadap cara produksi yang nyaris tak menghiraukan lagi aturan
dalam penggunaan zat-zat hara kimiawi ini.
Sistem juga absen
dalam menjaga kelangsungan ekosistem, sehingga -- seperti dalam kasus
pembangunan perkebunan kelapa sawit -- berjuta hektar hamparan lahan di banyak
lokasi menjadi bersifat monokultur. Padahal, berbagai buku teks sejak lama
sudah mengingatkan, tanaman monokultur sangat berisiko: menurunkan kualitas
lahan, memicu erosi, juga rentan terhadap serangan hama dan penyakit
tanaman.
Hari Pangan
sendiri tahun ini membawa pesan sangat menyentuh: rakyat sehat tergantung
sistem pangan yang sehat. Justru itu, sistem ketahanan pangan nasional harus
dievaluasi atau tepatnya dikoreksi -- karena tidak menjamin sistem pangan yang
sehat.
Untuk itu, di
sisi produksi, berbagai kemandirian pangan -- melalui program swasembada --
harus benar-benar bisa ditegakkan. Dalam konteks ini, program swasembada jangan
lagi ibarat pepesan kosong. Swasembada pangan harus dilaksanakan secara
terpadu, terarah, dan terukur -- menurut dimensi waktu maupun satuan produksi
-- serta mengusung asas manfaat yang sehat dan berkelanjutan.
Dalam konteks
itu, bias-bias kepentingan -- entah sektoral maupun komunal -- harus
disingkirkan. Kegiatan impor, misalnya, lebih diperlakukan sebagai kegiatan
sementara -- untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi rakyat
tanpa merugikan petani lokal -- sampai swasembada pangan bisa ditegakkan. Impor
komoditas pangan jangan seolah untuk melanggengkan kepentingan pengusaha maupun
oknum pejabat pemerintahan lewat praktik patgulipat menangguk rente secara
tidak fair.
Untuk itu semua,
kemauan politik pemerintah selaku motor pembangunan menjadi keniscayaan. Tanpa
itu, peringatan Hari Pangan tak menorehkan makna apa-apa kecuali sekadar
seremoni tahunan.***
Jakarta, 17
Oktober 2013