17 Oktober 2013

Semangat Hari Pangan


Peringatan Hari Pangan Sedunia, kemarin, mestinya menjadi tonggak untuk mengevaluasi sistem ketahanan pangan nasional. Terlebih Hari Pangan 2013 mengusung tema "Sistem Pangan Berkelanjutan untuk Ketahanan Pangan dan Gizi".

Sistem ketahanan pangan nasional perlu dievaluasi karena sekarang ini begitu gamblang keropos. Harga beberapa komoditas pangan silih berganti mengalami krisis. Nyaris berurutan, mulai gula pasir, cabai merah, tepung teribu, bawang merah dan bawang putih, daging sapi, juga kacang kedelai gonjang-ganjing bergejolak. Pasokan mendadak menyusut drastis sehingga harga komoditas-komoditas tersebut melejit menyentuh langit.

Krisis itu sendiri tidak selalu bisa dijelaskan menurut perspektif ekonomi. Harga daging sapi, misalnya, tetap menjulang tinggi meski pasokan sudah digenjot lewat kegiatan impor. Begitu juga lonjakan harga kacang kedelai -- komoditas yang sangat bergantung kepada impor -- ternyata tak berbanding lurus dengan depresiasi rupiah. Kenaikan harga kedelai jauh lebih tinggi dibanding rata-rata pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam setahun terakhir.

Kenyataan itu merupakan petunjuk bahwa sistem ketahanan pangan kita tidak beres. Sistem tersebut tidak menjamin pasokan atau ketersediaan pangan bisa senantiasa terjaga aman. Di sisi lain, sistem itu juga masih tak mampu menangkal fenomena gizi buruk di lapisan bawah masyarakat.

Dalam perpektif produksi, sistem ketahanan pangan kita bukan cuma keteteran dalam memenuhi kebutuhan konsumsi, melainkan juga kurang mengindahkan asas keberlanjutan akibat penggunaan pupuk kimia yang begitu jor-joran. Sistem abai atau bahkan tutup mata terhadap cara produksi yang nyaris tak menghiraukan lagi aturan dalam penggunaan zat-zat hara kimiawi ini.

Sistem juga absen dalam menjaga kelangsungan ekosistem, sehingga -- seperti dalam kasus pembangunan perkebunan kelapa sawit -- berjuta hektar hamparan lahan di banyak lokasi menjadi bersifat monokultur. Padahal, berbagai buku teks sejak lama sudah mengingatkan, tanaman monokultur sangat berisiko: menurunkan kualitas lahan, memicu erosi, juga rentan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman. 

Hari Pangan sendiri tahun ini membawa pesan sangat menyentuh: rakyat sehat tergantung sistem pangan yang sehat. Justru itu, sistem ketahanan pangan nasional harus dievaluasi atau tepatnya dikoreksi -- karena tidak menjamin sistem pangan yang sehat.

Untuk itu, di sisi produksi, berbagai kemandirian pangan -- melalui program swasembada -- harus benar-benar bisa ditegakkan. Dalam konteks ini, program swasembada jangan lagi ibarat pepesan kosong. Swasembada pangan harus dilaksanakan secara terpadu, terarah, dan terukur -- menurut dimensi waktu maupun satuan produksi -- serta mengusung asas manfaat yang sehat dan berkelanjutan.

Dalam konteks itu, bias-bias kepentingan -- entah sektoral maupun komunal -- harus disingkirkan. Kegiatan impor, misalnya, lebih diperlakukan sebagai kegiatan sementara -- untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi rakyat tanpa merugikan petani lokal -- sampai swasembada pangan bisa ditegakkan. Impor komoditas pangan jangan seolah untuk melanggengkan kepentingan pengusaha maupun oknum pejabat pemerintahan lewat praktik patgulipat menangguk rente secara tidak fair.

Untuk itu semua, kemauan politik pemerintah selaku motor pembangunan menjadi keniscayaan. Tanpa itu, peringatan Hari Pangan tak menorehkan makna apa-apa kecuali sekadar seremoni tahunan.***

Jakarta, 17 Oktober 2013