Tuntutan penjara 17 tahun plus 6 bulan membuat Ahmad Fathanah -- terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang terkait impor daging sapi -- terkaget-kaget. Reaksi seperti itu wajar, karena bagaimanapun 17 tahun 6 bulan bukan rentang waktu pendek. Belum lagi Fathanah juga dituntut membayar denda dalam jumlah yang relatif besar pula.
Tuntutan jaksa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sendiri bersifat kumulatif atas dua
dakwaan. Untuk dakwaan korupsi, Fathanah dituntut 7 tahun 6 bulan penjara plus
denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Lalu untuk dakwaan tindak pencucian
uang, tuntutan jaksa adalah 10 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar subsider 1
tahun 6 bulan kurungan.
Jadi, tuntutan
hukuman terhadap Fathanah ini tak bisa dikatakan ringan. Karena itu, jaksa
penuntut layak diberi apresiasi. Tuntutan jaksa sudah cukup mewakili rasa
keadilan publik.
Jaksa menilai
Fathanah terbukti menerima uang senilai total Rp 1,3 miliar dari Dirut PT
Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Uang tersebut adalah bagian imbalan dari
total keseluruhan yang dijanjikan PT Indoguna untuk pengurusan surat
persetujuan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.
Namun, menjadi
pertanyaan besar: mungkinkah vonis yang kelak dijatuhkan majelis hakim
Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili Fathanah ini juga bisa mewakili rasa
keadilan di masyarakat? Mungkinkah putusan hakim sama berat dibanding tuntutan
jaksa?
Pertanyaan itu
mengemuka, karena selama ini sejumlah kasus menunjukkan bahwa vonis yang
dijatuhkan hakim terhadap terdakwa koruptor justru lembek bin ringan sehingga
mencederai rasa keadilan di masyarakat. Tentang itu, sebut saja vonis
Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Irjen Pol Djoko Susilo selaku terpidana
kasus korupsi pengadaan simulator alat mengemudi yang merugikan negara senilai
Rp 121 miliar. Vonis 10 tahun penjara yang diputuskan hakim jauh di bawah
tuntutan jaksa: kurungan selama 18 tahun.
Dalam praktik,
hukuman yang dijalani terpidana koprupsi bahkan bisa lebih ringan lagi berkat
diskon berupa remisi-remisi yang lazim diberikan pemerintah. Remisi diberikan
setiap kali menyambut momen tertentu, seperti peringatan hari kemerdekaan RI
tiap 17 Agustus atau hari besar keagamaan seperti Lebaran.
Jadi, becermin
terhadap rentetan vonis untuk koruptor yang sama sekali tidak menimbulkan efek
jera, wajar jika publik pun serta-merta bertanya-tanya tentang hukuman yang
kelak dijatuhkan hakim terhadap Fathanah. Tentu, publik sangat berharap
Fathanah diganjar hukuman berat -- minimal sesuai tuntutan jaksa.
Bagi publik,
koruptor memang harus dihukum berat karena tindakan mereka nyata-nyata merampok
hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Terlebih lagi praktik korupsi di negeri
kita telanjur merajalela. Tanpa hukuman berat, praktik korupsi sulit diharapkan
bisa surut.
Walhasil, sanksi
hukum terhadap terdakwa kasus-kasus korupsi ini harus menimbulkan efek jera.
Tuntutan jaksa ataupun vonis hakim tak boleh bersifat lembek. Bukan saja sanksi
penjara harus maksimal, tetapi juga jika memungkinkan koruptor dimiskinkan pula
lewat hukuman denda dan penyitaan harta kekayaan hasil korupsi.
Kalau saja
hukuman seperti itu kelak dialami Fathanah, tentu dia bukan lagi sekadar
terkaget-kaget. Boleh jadi, dia -- juga keluarganya -- termehek-mehek alias
merana seumur-umur. ***
Jakarta, 21
Oktober 2013