21 Oktober 2013

Berharap Termehek-mehek


Tuntutan penjara 17 tahun plus 6 bulan membuat Ahmad Fathanah -- terdakwa kasus korupsi dan pencucian uang terkait impor daging sapi -- terkaget-kaget. Reaksi seperti itu wajar, karena bagaimanapun 17 tahun 6 bulan bukan rentang waktu pendek. Belum lagi Fathanah juga dituntut membayar denda dalam jumlah yang relatif besar pula.

Tuntutan jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sendiri bersifat kumulatif atas dua dakwaan. Untuk dakwaan korupsi, Fathanah dituntut 7 tahun 6 bulan penjara plus denda Rp 500 juta subsider 6 bulan penjara. Lalu untuk dakwaan tindak pencucian uang, tuntutan jaksa adalah 10 tahun penjara plus denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun 6 bulan kurungan.

Jadi, tuntutan hukuman terhadap Fathanah ini tak bisa dikatakan ringan. Karena itu, jaksa penuntut layak diberi apresiasi. Tuntutan jaksa sudah cukup mewakili rasa keadilan publik.

Jaksa menilai Fathanah terbukti menerima uang senilai total Rp 1,3 miliar dari Dirut PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Uang tersebut adalah bagian imbalan dari total keseluruhan yang dijanjikan PT Indoguna untuk pengurusan surat persetujuan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian.

Namun, menjadi pertanyaan besar: mungkinkah vonis yang kelak dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang mengadili Fathanah ini juga bisa mewakili rasa keadilan di masyarakat? Mungkinkah putusan hakim sama berat dibanding tuntutan jaksa?

Pertanyaan itu mengemuka, karena selama ini sejumlah kasus menunjukkan bahwa vonis yang dijatuhkan hakim terhadap terdakwa koruptor justru lembek bin ringan sehingga mencederai rasa keadilan di masyarakat. Tentang itu, sebut saja vonis Pengadilan Tipikor Jakarta terhadap Irjen Pol Djoko Susilo selaku terpidana kasus korupsi pengadaan simulator alat mengemudi yang merugikan negara senilai Rp 121 miliar. Vonis 10 tahun penjara yang diputuskan hakim jauh di bawah tuntutan jaksa: kurungan selama 18 tahun.

Dalam praktik, hukuman yang dijalani terpidana koprupsi bahkan bisa lebih ringan lagi berkat diskon berupa remisi-remisi yang lazim diberikan pemerintah. Remisi diberikan setiap kali menyambut momen tertentu, seperti peringatan hari kemerdekaan RI tiap 17 Agustus atau hari besar keagamaan seperti Lebaran.

Jadi, becermin terhadap rentetan vonis untuk koruptor yang sama sekali tidak menimbulkan efek jera, wajar jika publik pun serta-merta bertanya-tanya tentang hukuman yang kelak dijatuhkan hakim terhadap Fathanah. Tentu, publik sangat berharap Fathanah diganjar hukuman berat -- minimal sesuai tuntutan jaksa.

Bagi publik, koruptor memang harus dihukum berat karena tindakan mereka nyata-nyata merampok hak ekonomi dan hak sosial masyarakat. Terlebih lagi praktik korupsi di negeri kita telanjur merajalela. Tanpa hukuman berat, praktik korupsi sulit diharapkan bisa surut.

Walhasil, sanksi hukum terhadap terdakwa kasus-kasus korupsi ini harus menimbulkan efek jera. Tuntutan jaksa ataupun vonis hakim tak boleh bersifat lembek. Bukan saja sanksi penjara harus maksimal, tetapi juga jika memungkinkan koruptor dimiskinkan pula lewat hukuman denda dan penyitaan harta kekayaan hasil korupsi.

Kalau saja hukuman seperti itu kelak dialami Fathanah, tentu dia bukan lagi sekadar terkaget-kaget. Boleh jadi, dia -- juga keluarganya -- termehek-mehek alias merana seumur-umur. ***

Jakarta, 21 Oktober 2013