Keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menunda selama dua pekan penetapan daftar pemilih tetap
(DPT) untuk Pemilu 2014, kemarin, bukan jaminan bahwa masalah data pemilih yang
tidak akurat bisa diselesaikan dengan baik. Parpol-parpol peserta pemilu,
terutama, boleh jadi pada saatnya tetap tidak puas -- karena DPT yang dua pekan
mendatang ditetapkan KPU masih saja bermasalah.
Patut diakui, KPU
sulit diharapkan mampu memberesi data pemilih hingga benar-benar clean and
clear. Pekerjaan tersebut sungguh sulit dan berat -- saking banyak dan ruwetnya
data yang harus dibenahi. Terlebih lagi waktu yang tersedia untuk itu cuma dua
pekan, sementara organ KPU sendiri tidak sampai menyentuh hingga ke desa dan
kelurahan sebagai tingkat paling bawah.
Jadi, bagi KPU,
memberesi data pemilih hingga menjadi benar-benar clean and clear -- sehingga
tidak mengundang kisruh lagi -- adalah pekerjaan yang sungguh musykil. Bahkan
boleh dikatakan, itu adalah mission imposible.
Karena itu,
keputusan KPU menunda penetapan DPT lebih merupakan wujud kesantunan. Yaitu
bahwa KPU mengindahkan atau mengakomodasi keluhan alias komplen sejumlah
kalangan -- terutama parpol dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) -- soal data
pemilih yang tidak akurat. Boleh jadi, KPU tidak ingin terkesankan menutup mata
dan telinga atas berbagai komplen, kritik, maupun desakan banyak pihak mengenai
data pemilih ini.
Soal
ketidakakuratan data pemilih sendiri memang sulit dihindari. Boleh dikatakan
itu merupakan kesalahan bersama berbagai pihak: ya KPU, Bawaslu, jajaran parpol
peserta pemilu, juga masyarakat pemilih. KPU, antara lain, kurang intensif
melakukan sosialisasi soal daftar pemilih sementara (DPS) sehingga calon
pemilih tidak tergerak mengecek data ke desa atau kelurahan untuk memastikan
bahwa nama mereka sudah terdaftar sebagai pemilih.
Dalam konteks itu
pula, Bawaslu juga ikut bertanggung jawab. Mestinya Bawaslu sejak awal
menyemprit KPU karena tidak intensif menyosialisasikan DPS. Bawaslu juga
mestinya sejak jauh hari menegur KPU jika benar institusi tersebut tidak beres
dalam melakukan penghitungan daftar pemilih dari tingkat kabupaten dan kota.
Di lain pihak,
jajaran parpol peserta pemilu sendiri tak terkecuali ikut bersalah atas daftar
pemilih yang bermasalah ini. Boleh jadi akibat tidak memiliki kader hingga ke
lapisan paling bawah, mereka nyaris tidak turun ke lapangan -- hingga tingkat
desa/kelurahan -- untuk mengecek atau memverifikasi data pemilih.
Jadi, soal data
pemilih yang tidak akurat ini sebenarnya adalah produk kesalahan bersama.
Justru itu, seharusnya masing-masing pihak tak perlu saling menyalahkan --
terlebih seolah data yang tidak akurat melulu tanggung jawab KPU.
Selebihnya,
masing-masing pihak -- terutama jajaran parpol peserta pemilu -- justru harus
berjiwa besar menerima kenyataan bahwa Pemilu 2014 pun hampir pasti seperti
pemilu yang lalu: tetap memiliki cacat bawaan berupa data pemilih yang tidak
akurat. Itu tadi, karena KPU hampir mustahil mampu memberesi data pemilih
menjadi benar-benar clean and clear hanya dalam tempo dua pekan.
Ibarat bisul di
bokong, data pemilih yang tidak akurat ini memang mencederai pelaksanaan pemilu
sebagai perhelatan demokrasi lima tahunan yang mestinya tergelar bersih,
lancar, dan fair. Tetapi semoga saja kelemahan tersebut tidak dimanfaatkan
pihak tertentu sebagai celah untuk bisa memenangi pemilu secara curang dan
culas. Semoga!***
Jakarta, 23
Oktober 2013