23 Oktober 2013

Kisruh Daftar Pemilih


Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda selama dua pekan penetapan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2014, kemarin, bukan jaminan bahwa masalah data pemilih yang tidak akurat bisa diselesaikan dengan baik. Parpol-parpol peserta pemilu, terutama, boleh jadi pada saatnya tetap tidak puas -- karena DPT yang dua pekan mendatang ditetapkan KPU masih saja bermasalah.

Patut diakui, KPU sulit diharapkan mampu memberesi data pemilih hingga benar-benar clean and clear. Pekerjaan tersebut sungguh sulit dan berat -- saking banyak dan ruwetnya data yang harus dibenahi. Terlebih lagi waktu yang tersedia untuk itu cuma dua pekan, sementara organ KPU sendiri tidak sampai menyentuh hingga ke desa dan kelurahan sebagai tingkat paling bawah.

Jadi, bagi KPU, memberesi data pemilih hingga menjadi benar-benar clean and clear -- sehingga tidak mengundang kisruh lagi -- adalah pekerjaan yang sungguh musykil. Bahkan boleh dikatakan, itu adalah mission imposible.

Karena itu, keputusan KPU menunda penetapan DPT lebih merupakan wujud kesantunan. Yaitu bahwa KPU mengindahkan atau mengakomodasi keluhan alias komplen sejumlah kalangan -- terutama parpol dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) -- soal data pemilih yang tidak akurat. Boleh jadi, KPU tidak ingin terkesankan menutup mata dan telinga atas berbagai komplen, kritik, maupun desakan banyak pihak mengenai data pemilih ini.

Soal ketidakakuratan data pemilih sendiri memang sulit dihindari. Boleh dikatakan itu merupakan kesalahan bersama berbagai pihak: ya KPU, Bawaslu, jajaran parpol peserta pemilu, juga masyarakat pemilih. KPU, antara lain, kurang intensif melakukan sosialisasi soal daftar pemilih sementara (DPS) sehingga calon pemilih tidak tergerak mengecek data ke desa atau kelurahan untuk memastikan bahwa nama mereka sudah terdaftar sebagai pemilih.

Dalam konteks itu pula, Bawaslu juga ikut bertanggung jawab. Mestinya Bawaslu sejak awal menyemprit KPU karena tidak intensif menyosialisasikan DPS. Bawaslu juga mestinya sejak jauh hari menegur KPU jika benar institusi tersebut tidak beres dalam melakukan penghitungan daftar pemilih dari tingkat kabupaten dan kota.

Di lain pihak, jajaran parpol peserta pemilu sendiri tak terkecuali ikut bersalah atas daftar pemilih yang bermasalah ini. Boleh jadi akibat tidak memiliki kader hingga ke lapisan paling bawah, mereka nyaris tidak turun ke lapangan -- hingga tingkat desa/kelurahan -- untuk mengecek atau memverifikasi data pemilih.

Jadi, soal data pemilih yang tidak akurat ini sebenarnya adalah produk kesalahan bersama. Justru itu, seharusnya masing-masing pihak tak perlu saling menyalahkan -- terlebih seolah data yang tidak akurat melulu tanggung jawab KPU.

Selebihnya, masing-masing pihak -- terutama jajaran parpol peserta pemilu -- justru harus berjiwa besar menerima kenyataan bahwa Pemilu 2014 pun hampir pasti seperti pemilu yang lalu: tetap memiliki cacat bawaan berupa data pemilih yang tidak akurat. Itu tadi, karena KPU hampir mustahil mampu memberesi data pemilih menjadi benar-benar clean and clear hanya dalam tempo dua pekan.

Ibarat bisul di bokong, data pemilih yang tidak akurat ini memang mencederai pelaksanaan pemilu sebagai perhelatan demokrasi lima tahunan yang mestinya tergelar bersih, lancar, dan fair. Tetapi semoga saja kelemahan tersebut tidak dimanfaatkan pihak tertentu sebagai celah untuk bisa memenangi pemilu secara curang dan culas. Semoga!***

Jakarta, 23 Oktober 2013