08 Oktober 2013

Setelah Pertemuan Puncak APEC

Pertemuan Puncak Para Pemimpin Ekonomi forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Nusa Dua, Bali, yang berakhir kemarin, terasa kurang greget. Butir-butir kesepakatan yang dihasilkan tidak ada yang baru, karena lebih merupakan penegasan komitmen peserta pertemuan menyangkut pencapaian Bogor Goals yang ditorehkan dalam pertemuan puncak di Bogor pada 1994 silam.

Meski begitu, secara substantif hasil pertemuan di Bali ini tetap penting. Yaitu memacu semangat bersama forum APEC meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Asia Pasifik, sehingga kawasan tersebut kian berperan menentukan sebagai mesin ekonomi global. Untuk itu, liberalisasi perdagangan di kalangan anggota APEC -- entah bersifat bilateral maupun multilateral melalui wadah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) -- akan terus digulirkan, khususnya di kalangan ekonomi berkembang sebagai rintisan menuju tenggat liberalisasi pada tahun 2020. 

Dalam konteks itu, berbagai bentuk proteksi yang menghambat perdagangan disepakati akan terus dieliminasi atau dihindari. Komitmen ini menjadi bekal berharga untuk memastikan konferensi WTO di Bali, Desember 2013, bisa sukses di tengah kebuntuan perundingan perdagangan global dalam konteks Putaran Doha sejak beberapa tahun terakhir. 

Bagi Indonesia sendiri, hasil pertemuan APEC di Bali ini bisa menjadi momentum positif untuk memperbaiki kinerja ekonomi. Melalui kesepakatan-kesepakatan bilateral dengan beberapa anggota APEC, pertumbuhan ekonomi nasional bisa dipertahankan tetap relatif tinggi di tengah kondisi global yang kurang kondusif sekarang ini. 

Dalam konteks itu, kinerja ekspor -- terutama ekspor komoditas nonmigas produk manufaktur -- seharusnya meningkat. Di sisi lain, arus masuk investasi yang bersifat langsung (nonportofolio di pasar modal) juga bisa diharapkan mengalir deras. 

Prospek seperti itu tidak berlebihan karena hasil survei lembaga sekaliber PricewaterhouseCoopers (PwC) juga menyebutkan bahwa Indonesia termasuk salah satu tujuan utama investasi global dalam beberapa tahun ke depan. Sebanyak 68 persen responden dalam survei itu (mereka pimpinan puncak eksekutif di negara-negara Asia Pasifik) menyatakan siap meningkatkan investasi ke tiga negara tujuan utama: berturut-turut China, Indonesia, dan AS. 

Dalam pertemuan forum APEC di Bali sendiri, sejumlah banyak pimpinan puncak eksekutif di Asia Pasifik ini berkesempatan saling menjajaki kerja sama bisnis. Ini, sekali lagi membesarkan hati karena bisa berimbas positif terhadap kinerja ekonomi nasional. 

Tetapi, bagaimanapun, itu baru merupakan prospek. Baru sekadar peluang. Ini perlu digarisbawahi, karena kecenderungan selama ini menunjukkan bahwa pemerintah acap gagal memanfaatkan momentum. Kegagalan tersebut tak pelak lagi membuat peluang yang sudah nyata tergelar di depan mata lewat begitu saja. Prospek yang semula cemerlang pun pada akhirnya menjadi sekadar pepesan kosong. 

Kegagalan itu lebih banyak karena pemerintah abai atau lelet melakukan persiapan dan penyiapan-penyiapan yang diperlukan. Infrastruktur di lapangan, misalnya, sejak lama kedodoran. Upaya membenahi masalah tersebut sedikit sekali menunjukkan kesungguhan. Akibatnya, berbusa-busa mengundang investor punmenjadi kurang bermakna. 

Jadi, hasil positif pertemuan APEC di Bali bagi kepentingan ekonomi nasional amat bergantung terhadap pemerintah sendiri. Tanpa perubahan mental kerja, terutama di jajaran pengambil keputusan, hasil pertemuan itu bisa-bisa menjadi ibarat debu yang segera tertiup angin.***

Jakarta, 8 Oktober 2013