07 Oktober 2013

Pengawasan Hakim MK


Kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mestinya tidak membuat orang terkaget-kaget. Toh selama ini hakim-hakim MK memang tak tersentuh fungsi kontrol. Dalam menjalankan peran dan fungsi yudisial, mereka sama sekali tanpa pengawasan. Seolah-olah hakim-hakim MK boleh bertindak semau gue.

Jadi, kasus yang melibatkan Akil Mochtar ini tak sulit dipahami. Kasus tersebut pantas dan wajar terjadi. Terlebih hakim-hakim MK, khususnya dalam menangani perkara sengketa pilkada, memang sangat rentan penyuapan. Jangankan tanpa pengawasan, bahkan andai dipelototi fungsi kontrol sekalipun, kerentanan itu tetap kental -- karena perkara sengketa pilkada memikili muatan kepentingan demikian besar bagi pihak-pihak beperkara.

Memang aneh dan konyol bahwa hakim-hakim MK yang memiliki kewenangan demikian besar di bidang yudisial -- bahkan boleh dibilang absolut -- sama sekali tanpa pengawasan. Tapi semua tahu bahwa itu bukan kealfaan ataupun kekeliruan, melainkan tragedi sejarah. Tragedi, karena fungsi pengawasan itu justru dilikuidasi oleh MK sendiri. Kewenangan institusi pengawas, yang semula diemban Komisi Yudisial, pada tahun 2006 diberangus MK dengan alasan yang terkesan sangat sederhana: karena hakim-hakim MK bukan hakim murni dan tak menapaki karier dari bawah.

Mungkin putusan melikuidasi fungsi pengawasan yang diemban Komisi Yudisial bukan dimaksudkan agar hakim-hakim MK bisa berbuat seenak udel sendiri dalam melakukan peran dan fungsinya. Putusan itu, boleh jadi, lebih karena persoalan etika: bahwa hakim MK yang notebene diangkat berdasarkan usulan tiga pihak -- legislatif, eksekutif, dan yudikatif -- tak layak diperlakukan sama dengan hakim karier.

Namun putusan itu jelas mengabaikan konsekuensi yang justru bersifat etis: hakim MK menjadi sama sekali tak tersentuh fungsi pengawasan. Putusan itu membuat MK seolah-olah institusi dari planet lain yang sama sekali bebas tindak penyimpangan serta imun terhadap aneka godaan.

Karena itu, kasus Akil Mochtar selayaknya dimaknai sebagai koreksi atas tragedi sejarah tadi. Kasus tersebut juga merupakan konfirmasi bahwa tanpa pengawasan, hakim MK sungguh keropos secara moral dan etis.

Walhasil, hakim MK tak bisa tanpa pengawasan. Dalam konteks ini, kasus Akil Mochtar adalah petunjuk bahwa hakim MK tak boleh terus berkiprah tanpa kontrol.

Untuk itu pula, Presiden berencana menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penyelamatan MK. Terlepas dari silang-pendapat soal penerbitan perppu itu sendiri, rencana tersebut jelas punya relevansi kuat -- terutama menyangkut fungsi pengawasan terhadap hakim MK. Rencana tersebut merupakan bukti keinginan baik pemerintah membuat hakim MK tidak lagi tanpa kontrol.

Bahwa fungsi kontrol atau pengawasan itu dipercayakan kepada Komisi Yudisial atau institusi lain yang baru sama sekali, itu adalah soal lain. Yang penting dan urgen, hakim MK harus memiliki kesadaran untuk diawasi justru demi menegakkan integritas, kredibilitas, dan martabat mereka sendiri di mata publik.

Karena itu, pada saatnya nanti, MK tak boleh membuat lagi kesalahan yang sudah berimplikasi berimplikasi tragedi: memberangus fungsi pengawasan atas diri mereka. Hakim maupun pegawai MK tak boleh proaktif melakukan uji materi terhadap produk hukum yang mengatur fungsi pengawasan terhadap kelembagaan mereka sendiri.***

Jakarta, 7 Oktober 2013