Kasus dugaan suap
yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar mestinya tidak
membuat orang terkaget-kaget. Toh selama ini hakim-hakim MK memang tak
tersentuh fungsi kontrol. Dalam menjalankan peran dan fungsi yudisial, mereka
sama sekali tanpa pengawasan. Seolah-olah hakim-hakim MK boleh bertindak semau
gue.
Jadi, kasus yang
melibatkan Akil Mochtar ini tak sulit dipahami. Kasus tersebut pantas dan wajar
terjadi. Terlebih hakim-hakim MK, khususnya dalam menangani perkara sengketa
pilkada, memang sangat rentan penyuapan. Jangankan tanpa pengawasan, bahkan
andai dipelototi fungsi kontrol sekalipun, kerentanan itu tetap kental --
karena perkara sengketa pilkada memikili muatan kepentingan demikian besar bagi
pihak-pihak beperkara.
Memang aneh dan
konyol bahwa hakim-hakim MK yang memiliki kewenangan demikian besar di bidang
yudisial -- bahkan boleh dibilang absolut -- sama sekali tanpa pengawasan. Tapi
semua tahu bahwa itu bukan kealfaan ataupun kekeliruan, melainkan tragedi
sejarah. Tragedi, karena fungsi pengawasan itu justru dilikuidasi oleh MK
sendiri. Kewenangan institusi pengawas, yang semula diemban Komisi Yudisial,
pada tahun 2006 diberangus MK dengan alasan yang terkesan sangat sederhana:
karena hakim-hakim MK bukan hakim murni dan tak menapaki karier dari bawah.
Mungkin putusan
melikuidasi fungsi pengawasan yang diemban Komisi Yudisial bukan dimaksudkan
agar hakim-hakim MK bisa berbuat seenak udel sendiri dalam melakukan peran dan
fungsinya. Putusan itu, boleh jadi, lebih karena persoalan etika: bahwa hakim
MK yang notebene diangkat berdasarkan usulan tiga pihak -- legislatif,
eksekutif, dan yudikatif -- tak layak diperlakukan sama dengan hakim karier.
Namun putusan itu
jelas mengabaikan konsekuensi yang justru bersifat etis: hakim MK menjadi sama
sekali tak tersentuh fungsi pengawasan. Putusan itu membuat MK seolah-olah
institusi dari planet lain yang sama sekali bebas tindak penyimpangan serta
imun terhadap aneka godaan.
Karena itu, kasus
Akil Mochtar selayaknya dimaknai sebagai koreksi atas tragedi sejarah tadi.
Kasus tersebut juga merupakan konfirmasi bahwa tanpa pengawasan, hakim MK
sungguh keropos secara moral dan etis.
Walhasil, hakim
MK tak bisa tanpa pengawasan. Dalam konteks ini, kasus Akil Mochtar adalah
petunjuk bahwa hakim MK tak boleh terus berkiprah tanpa kontrol.
Untuk itu pula,
Presiden berencana menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) penyelamatan MK. Terlepas dari silang-pendapat soal penerbitan perppu
itu sendiri, rencana tersebut jelas punya relevansi kuat -- terutama menyangkut
fungsi pengawasan terhadap hakim MK. Rencana tersebut merupakan bukti keinginan
baik pemerintah membuat hakim MK tidak lagi tanpa kontrol.
Bahwa fungsi
kontrol atau pengawasan itu dipercayakan kepada Komisi Yudisial atau institusi
lain yang baru sama sekali, itu adalah soal lain. Yang penting dan urgen, hakim
MK harus memiliki kesadaran untuk diawasi justru demi menegakkan integritas,
kredibilitas, dan martabat mereka sendiri di mata publik.
Karena itu, pada
saatnya nanti, MK tak boleh membuat lagi kesalahan yang sudah berimplikasi
berimplikasi tragedi: memberangus fungsi pengawasan atas diri mereka. Hakim
maupun pegawai MK tak boleh proaktif melakukan uji materi terhadap produk hukum
yang mengatur fungsi pengawasan terhadap kelembagaan mereka sendiri.***
Jakarta, 7
Oktober 2013