Boleh jadi,
terpidana koruptor kini berpikir dalam-dalam dulu sebelum mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung (MA). Ya, karena bukan tidak mungkin vonis kasasi malah jauh
lebih berat daripada hukuman yang diputuskan pengadilan di tingkat bawah MA.
Paling tidak,
vonis kasasi seperti itu sudah dialami tiga terpidana koruptor, belakangan ini.
Yang pertama dialami Rene Setiawan, anggota direksi PT Asuransi Kredit
Indonesia (Askrindo), yang divonis hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1
miliar di tingkat kasasi. Vonis tersebut lebih berat 10 tahun dibanding putusan
Pengadilan Tipikor.
Vonis serupa juga
dialami Umar Zen, direktur PT Tranka Kabel. Di tingkat banding, dia divonis 11
tahun penjara dan denda Rp 500 juta plus uang pengganti Rp 62,5 miliar. Nah, di
tingkat kasasi, hukuman itu lebih berat menjadi 15 tahun plus denda Rp 62,5
miliar.
Yang terbaru, MA
menjatuhkan hukuman 15 tahun dan denda Rp 1 miliar penjara bagi Zulfan Lubis,
anggota direksi Askrindo. Di Pengadilan Negeri Jaksel, dia dihukum 4 tahun
penjara plus denda Rp 250 juta. Lalu, di tingkat banding, vonis itu berlipat
menjadi 7 tahun penjara plus denda Rp 400 juta.
Di tengah praktik
korupsi yang begitu merajalela, vonis MA melipatgandakan hukuman terhadap terpidana
koruptor ini sungguh melegakan. Vonis itu ibarat tetesan air dalam dahaga di
tengah terik padang pasir. Dahaga publik akan rasa keadilan pun serta-merta
terpuaskan.
Publik memang
sudah sangat geram terhadap praktik korupsi ini. Geram, karena tindak pidana
tersebut makin hari justru makin menggila saja. Mulai kelas ecek-ecek sampai
kelas kakap, mulai dilakukan secara malu-malu sampai terang-terangan, korupsi
di Indonesia ini sungguh sudah menjadi kanker ganas yang mengancam kelangsungan
hidup berbangsa dan bernegara. Sampai-sampai nyaris tak ada lagi institusi yang
bebas korupsi.
Publik lebih
geram lagi karena hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor selama
ini justru cenderung lembek bin ringan. Bahkan dalam sejumlah kasus, pengadilan
justru menjatuhkan vonis bebas bagi perampok uang rakyat.
Tentang itu,
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama rentang tahun 2010
hingga semester I/2013, sebanyak 143 terdakwa kasus korupsi divonis bebas dan
185 diganjar hukuman kurang dari satu tahun penjara. Lalu, hukuman 1 sampai 5
tahun penjara dijatuhkan terhadap 384 terdakwa, 5 hingga tahun terhadap 35
terdakwa, dan hanya 5 orang yang divonis hukuman penjara 5 tahun.
Karena itu, rasa
keadilan publik pun terlukai. Terlebih kalau vonis lembek bin ringan itu
dijatuhkan terhadap pelaku kasus korupsi berlapis-lapis dan bernilai super
jumbo seperti kasus yang membelit Nazaruddin.
Jadi, sekali
lagi, vonis berat yang dijatuhkan MA terhadap terpidana koruptor ini sungguh
melegakan. Mudah-mudahan putusan tegas dan lugas tersebut konsisten berlanjut.
Vonis berat jangan hanya dijatuhkan terhadap upaya-upaya kasasi lain, tetapi
juga terhadap berbagai langkah peninjauan kembali yang mungkin ditempuh
terpidana koruptor atas putusan kasasi.
Di sisi lain,
tindakan tegas dan lugas MA itu juga mudah-mudahan menginspirasi pengadilan di
bawah MA dalam memutus hukuman terhadap para terdakwa kasus korupsi. Bagi
pengadilan di bawah MA, vonis kasasi yang melipatgandakan hukuman bagi koruptor
seharusnya jangan dipandang sekadar sebagai koreksi, melainkan dianggap sebagai
tamparan atas kelembekan mereka selama ini dalam memutus perkara korupsi.
Dengan kata lain,
sebagai institusi penegak keadilan, pengadilan -- mulai tingkat pengadilan
negeri sampai MA -- sudah saatnya kompak: garang dalam menghukum koruptor.
Vonis pengadilan harus benar-benar membuat kapok koruptor.***
Jakarta, 9
Oktober 2013