09 Oktober 2013

Vonis MA untuk Koruptor


Boleh jadi, terpidana koruptor kini berpikir dalam-dalam dulu sebelum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Ya, karena bukan tidak mungkin vonis kasasi malah jauh lebih berat daripada hukuman yang diputuskan pengadilan di tingkat bawah MA.

Paling tidak, vonis kasasi seperti itu sudah dialami tiga terpidana koruptor, belakangan ini. Yang pertama dialami Rene Setiawan, anggota direksi PT Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo), yang divonis hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar di tingkat kasasi. Vonis tersebut lebih berat 10 tahun dibanding putusan Pengadilan Tipikor.

Vonis serupa juga dialami Umar Zen, direktur PT Tranka Kabel. Di tingkat banding, dia divonis 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta plus uang pengganti Rp 62,5 miliar. Nah, di tingkat kasasi, hukuman itu lebih berat menjadi 15 tahun plus denda Rp 62,5 miliar.

Yang terbaru, MA menjatuhkan hukuman 15 tahun dan denda Rp 1 miliar penjara bagi Zulfan Lubis, anggota direksi Askrindo. Di Pengadilan Negeri Jaksel, dia dihukum 4 tahun penjara plus denda Rp 250 juta. Lalu, di tingkat banding, vonis itu berlipat menjadi 7 tahun penjara plus denda Rp 400 juta.

Di tengah praktik korupsi yang begitu merajalela, vonis MA melipatgandakan hukuman terhadap terpidana koruptor ini sungguh melegakan. Vonis itu ibarat tetesan air dalam dahaga di tengah terik padang pasir. Dahaga publik akan rasa keadilan pun serta-merta terpuaskan.

Publik memang sudah sangat geram terhadap praktik korupsi ini. Geram, karena tindak pidana tersebut makin hari justru makin menggila saja. Mulai kelas ecek-ecek sampai kelas kakap, mulai dilakukan secara malu-malu sampai terang-terangan, korupsi di Indonesia ini sungguh sudah menjadi kanker ganas yang mengancam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Sampai-sampai nyaris tak ada lagi institusi yang bebas korupsi.

Publik lebih geram lagi karena hukuman yang dijatuhkan pengadilan terhadap koruptor selama ini justru cenderung lembek bin ringan. Bahkan dalam sejumlah kasus, pengadilan justru menjatuhkan vonis bebas bagi perampok uang rakyat.

Tentang itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa selama rentang tahun 2010 hingga semester I/2013, sebanyak 143 terdakwa kasus korupsi divonis bebas dan 185 diganjar hukuman kurang dari satu tahun penjara. Lalu, hukuman 1 sampai 5 tahun penjara dijatuhkan terhadap 384 terdakwa, 5 hingga tahun terhadap 35 terdakwa, dan hanya 5 orang yang divonis hukuman penjara 5 tahun.

Karena itu, rasa keadilan publik pun terlukai. Terlebih kalau vonis lembek bin ringan itu dijatuhkan terhadap pelaku kasus korupsi berlapis-lapis dan bernilai super jumbo seperti kasus yang membelit Nazaruddin.

Jadi, sekali lagi, vonis berat yang dijatuhkan MA terhadap terpidana koruptor ini sungguh melegakan. Mudah-mudahan putusan tegas dan lugas tersebut konsisten berlanjut. Vonis berat jangan hanya dijatuhkan terhadap upaya-upaya kasasi lain, tetapi juga terhadap berbagai langkah peninjauan kembali yang mungkin ditempuh terpidana koruptor atas putusan kasasi.

Di sisi lain, tindakan tegas dan lugas MA itu juga mudah-mudahan menginspirasi pengadilan di bawah MA dalam memutus hukuman terhadap para terdakwa kasus korupsi. Bagi pengadilan di bawah MA, vonis kasasi yang melipatgandakan hukuman bagi koruptor seharusnya jangan dipandang sekadar sebagai koreksi, melainkan dianggap sebagai tamparan atas kelembekan mereka selama ini dalam memutus perkara korupsi.

Dengan kata lain, sebagai institusi penegak keadilan, pengadilan -- mulai tingkat pengadilan negeri sampai MA -- sudah saatnya kompak: garang dalam menghukum koruptor. Vonis pengadilan harus benar-benar membuat kapok koruptor.***

Jakarta, 9 Oktober 2013