28 September 2013

Teror Gangguan Kemanan


Insiden pelemparan granat ke rumah seorang pengusaha di Tamansari Bali View, Pisangan, Tangerang Selatan, Banten, kemarin, kian menegaskan bahwa gangguan keamanan kini semakin merisaukan. Semakin membuat miris.

Terlepas dari soal motif yang melatari aksinya, insiden pelemparan granat itu menjadi petunjuk gamblang bahwa gangguan keamanan kini sudah memasuki tahap kronis. Bahkan boleh dikatakan, gangguan keamanan kini secara keseluruhan sudah merupakan teror.

Teror itu entah berupa tindak kriminalitas, konflik sosial, juga aksi-aksi yang memang merupakan murni teror. Tindak kriminalitas berefek teror bukan saja karena secara kuantitatif cenderung kian marak, melainkan juga lantaran secara kualitatif makin sarat kekerasan dan kekejian pelaku.

Demikian juga konflik sosial. Terutama bagi korban, konflik sosial -- karena kadar kekerasan yang menyertainya -- jelas menimbulkan efek teror. Efek tersebut muncul karena luka psikis dan luka sosial yang ditimbulkan demikian dalam dan mengiris.

Di sisi lain, aksi-aksi yang murni teror jelas memang dimaksudkan untuk menimbulkan efek yang mengiris hati. Teror dirancang untuk membuat efek miris sehingga orang menjadi merasa tidak nyaman dan tidak aman.

Tapi yang sangat merisaukan, teror gangguan keamanan ini sekarang bukan lagi sekadar melanda khalayak luas. Bahkan institusi kepolisian pun kini tak terkecuali menjadi korban gangguan keamanan ini. Kemarin, misalnya, pos polisi di Kaliwage, Semarang, diledakkan orang tak dikenal.

Sebelum itu, kepolisian di sejumlah tempat juga sudah mengalami serangkaian aksi serupa. Bahkan seperti kasus di Jakarta dan Tangerang, anggota polisi tewas menjadi korban kebrutalan pelaku kejahatan atau teror.

Di masyarakat luas sendiri, korban tewas akibat gangguan keamanan ini jelas jauh lebih banyak. Boleh dikatakan, sekarang ini praktis tiada lagi hari tanpa orang tewas akibat menjadi korban gangguan keamanan -- khususnya tindak kriminalitas.

Di sisi lain, jumlah korban yang sekadar menderita luka fisik dan atau luka psikis akibat ganggun keamanan ini tentu bisa tak terhitung dan tak ternilai.

Karena itu, wajar jika gangguan keamanan sekarang ini sudah membuat khalayak luas merasa miris dan tertekan. Orang dihantui oleh kemungkinan menjadi korban tindak kriminal -- entah di rumah, di jalan raya, atau di mana pun. Orang juga dicekam waswas: jangan-jangan menjadi korban aksi teror -- atau juga korban konflik sosial.

Orang makin tidak yakin oleh keamanan di sekeliling, karena polisi sendiri menjadi sasaran aksi-aksi teror. Terlebih dalam menangani aksi-aksi tersebut, polisi terkesankan keteteran.

Kenyataan itu sungguh pertanda tidak sehat. Masyarakat menjadi paranoid. Sebagai gejala psikologis, paranoid yang berkembang luas melanda masyarakat ini adalah penyakit berbahaya. Kehidupan sosial bisa tidak normal karena kehilangan gairah.

Tak bisa tidak, karena itu, kepolisian sangat diharapkan
bekerja ekstra keras meredakan gangguan sosial. Polisi harus segera bisa mengembalikan tertib sosial ke kondisi tentram, hangat, dan bergairah. Gangguan sosial tak boleh kian menggejala sebagai teror. Gangguan sosial harus bisa ditekan menjadi sekadar riak-riak kecil -- karena toh mustahil gangguan sosial bisa dihilankan sama sekali.***

Jakarta, 28 September 2013