Krisis kedelai
sekarang ini sekali lagi menegaskan betapa ketahanan pangan nasional sangat
rapuh. Sedikit saja terjadi guncangan, ketahanan pangan kita langsung
terseok-seok. Seperti dalam krisis kedelai sekarang ini, yang terutama dipicu
oleh depresiasi rupiah terhadap dolar AS, sekian banyak pabrik tahu-tempe
serta-merta tersungkur. Sekian banyak tenaga kerja juga otomatis mendadak jadi
penganggur.
Di sisi lain,
khalayak luas -- terutama masyarakat lapisan bawah -- juga kelimpungan akibat
kesulitan atau bahkan kehilangan tahu-tempe. Mereka kelimpungan karena
tahu-tempe adalah bahan pangan murah dan memenuhi syarat gizi.
Sebelum krisis
kedelai sekarang ini, kita diguncang oleh krisis cabe, krisis bawang, lalu
menyusul krisis daging sapi. Setelah krisis kedelai ini berlalu, entah krisis
apa lagi segera menyusul. Mungkin krisis gula pasir, krisis tepung terigu,
krisis beras, atau bahkan boleh jadi krisis garam.
Krisis-krisis itu
sangat mungkin menjadi episode-episode lanjutan karena ketahanan pangan kita
telanjur keropos. Bak cerita senitron, krisis itu bisa terus silih berganti dan
sambung-menyambung.
Sungguh
menyedihkan, sebuah negeri dengan hamparan lahan luas dan subur seperti
Indonesia begitu rapuh dalam segi pangan. Bahkan sekadar untuk mencukupi
kebutuhan nasional, Indonesia sudah tidak mampu bertumpu kepada produksi di
dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan pangan begitu diandalkan terhadap impor.
Bagi Indonesia,
impor pangan bukan lagi sekadar jalan keluar sementara atas kekurangan produksi
di dalam negeri -- entah karena gagal panen, terkena bencana alam, dan
sebagainya. Impor pangan telanjur menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Terjadi ataupun tidak terjadi gagal panen, impor pangan jalan terus. Terjadi ataupun
tidak terjadi bencana alam, impor pangan tetap menjadi kebutuhan tak
terhindarkan.
Dalam konteks
itu, program swasembada pangan masih jauh di awang-awang. Program swasembada
pangan lebih banyak merupakan target dan proyeksi kalangan pejabat pemerintahan.
Swasembada pangan sekadar menjadi program seksi yang selalu dijanjikan setiap
penentu kebijakan.
Seperti dalam
konteks komoditas kedelai, program swasembada sebenarnya bahkan sudah
dicanangkan sejak zaman sebelum reformasi -- lengkap dengan target produksi
sesuai tahapan-tahapan kegiatan yang diproyeksikan. Toh hingga zaman berganti,
target-target dan proyeksi itu tak kunjung menjadi kenyataan. Tetap saja
kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi lewat kegiatan impor.
Impor mungkin
memang lebih mudah ketimbang kegiatan budidaya. Terutama bagi pengambil
kebijakan, impor sekadar soal perizinan. Impor juga bersentuhan dengan soal
rente sebagaimana tecermin dalam sengkarut kasus impor daging sapi.
Karena itu,
bahkan komoditas seperti gula pasir pun -- yang di zaman penjajahan menempatkan
Hindia Belanda sebagai produsen nomor wahid di dunia -- kini diimpor. Juga
komoditas garam yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri secara melimpah
-- karena garis pantai Indonesia membentang begitu luas.
Ketahanan pangan
jelas sangat tidak patut disandarkan terhadap impor. Tidak patut, karena
bermakna menggadaikan kepentingan nasional kepada kekuatan dan dinamika di luar
yang sulit dikontrol dan dikendalikan.
Karena itu,
rangkaian krisis pangan belakangan ini seyogyanya menggugah segenap pihak untuk
bersungguh-sungguh mewujudkan ketahanan pangan nasional yang kokoh kuat dengan
bertumpu terhadap potensi di dalam negeri. Untuk itu, program swasembada pangan
jangan lagi diperlakukan sekadar sebagai gincu.***
Jakarta, 1
September 2013