01 September 2013

Krisis Ketahanan Pangan


Krisis kedelai sekarang ini sekali lagi menegaskan betapa ketahanan pangan nasional sangat rapuh. Sedikit saja terjadi guncangan, ketahanan pangan kita langsung terseok-seok. Seperti dalam krisis kedelai sekarang ini, yang terutama dipicu oleh depresiasi rupiah terhadap dolar AS, sekian banyak pabrik tahu-tempe serta-merta tersungkur. Sekian banyak tenaga kerja juga otomatis mendadak jadi penganggur.

Di sisi lain, khalayak luas -- terutama masyarakat lapisan bawah -- juga kelimpungan akibat kesulitan atau bahkan kehilangan tahu-tempe. Mereka kelimpungan karena tahu-tempe adalah bahan pangan murah dan memenuhi syarat gizi.

Sebelum krisis kedelai sekarang ini, kita diguncang oleh krisis cabe, krisis bawang, lalu menyusul krisis daging sapi. Setelah krisis kedelai ini berlalu, entah krisis apa lagi segera menyusul. Mungkin krisis gula pasir, krisis tepung terigu, krisis beras, atau bahkan boleh jadi krisis garam.

Krisis-krisis itu sangat mungkin menjadi episode-episode lanjutan karena ketahanan pangan kita telanjur keropos. Bak cerita senitron, krisis itu bisa terus silih berganti dan sambung-menyambung. 

Sungguh menyedihkan, sebuah negeri dengan hamparan lahan luas dan subur seperti Indonesia begitu rapuh dalam segi pangan. Bahkan sekadar untuk mencukupi kebutuhan nasional, Indonesia sudah tidak mampu bertumpu kepada produksi di dalam negeri. Pemenuhan kebutuhan pangan begitu diandalkan terhadap impor.

Bagi Indonesia, impor pangan bukan lagi sekadar jalan keluar sementara atas kekurangan produksi di dalam negeri -- entah karena gagal panen, terkena bencana alam, dan sebagainya. Impor pangan telanjur menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Terjadi ataupun tidak terjadi gagal panen, impor pangan jalan terus. Terjadi ataupun tidak terjadi bencana alam, impor pangan tetap menjadi kebutuhan tak terhindarkan.

Dalam konteks itu, program swasembada pangan masih jauh di awang-awang. Program swasembada pangan lebih banyak merupakan target dan proyeksi kalangan pejabat pemerintahan. Swasembada pangan sekadar menjadi program seksi yang selalu dijanjikan setiap penentu kebijakan.

Seperti dalam konteks komoditas kedelai, program swasembada sebenarnya bahkan sudah dicanangkan sejak zaman sebelum reformasi -- lengkap dengan target produksi sesuai tahapan-tahapan kegiatan yang diproyeksikan. Toh hingga zaman berganti, target-target dan proyeksi itu tak kunjung menjadi kenyataan. Tetap saja kebutuhan kedelai di dalam negeri dipenuhi lewat kegiatan impor.

Impor mungkin memang lebih mudah ketimbang kegiatan budidaya. Terutama bagi pengambil kebijakan, impor sekadar soal perizinan. Impor juga bersentuhan dengan soal rente sebagaimana tecermin dalam sengkarut kasus impor daging sapi.

Karena itu, bahkan komoditas seperti gula pasir pun -- yang di zaman penjajahan menempatkan Hindia Belanda sebagai produsen nomor wahid di dunia -- kini diimpor. Juga komoditas garam yang seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri secara melimpah -- karena garis pantai Indonesia membentang begitu luas.

Ketahanan pangan jelas sangat tidak patut disandarkan terhadap impor. Tidak patut, karena bermakna menggadaikan kepentingan nasional kepada kekuatan dan dinamika di luar yang sulit dikontrol dan dikendalikan.

Karena itu, rangkaian krisis pangan belakangan ini seyogyanya menggugah segenap pihak untuk bersungguh-sungguh mewujudkan ketahanan pangan nasional yang kokoh kuat dengan bertumpu terhadap potensi di dalam negeri. Untuk itu, program swasembada pangan jangan lagi diperlakukan sekadar sebagai gincu.***

Jakarta, 1 September 2013