Premanisme,
khususnya di DKI Jakarta, semakin membuat miris. Bukan saja makin brutal dan
menafikan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan juga premanisme kini terorganisasi
rapi. Bahkan, seperti kasus terbaru yang kemarin terungkap di Jakarta,
premanisme ini "berbaju" resmi berupa badan usaha. Dengan bernaung
dalam badan usaha, premanisme pun seolah beroleh pembenaran secara sosial.
Kenyataan itu
jelas membuat miris. Orang serta-merta diingatkan kepada organisasi kriminal
seperti tergambar dalam film-film: premanisme identik dengan keonaran atau
bahkan kebrutalan nan sadistis. Dalam konteks itu, premanisme sungguh sudah
menjadi penyakit yang amat mengganggu ketenteraman masyarakat namun justru
seperti punya hak hidup -- karena terorganisasi rapi, termasuk menjalin lobi
secara ilegal dengan oknum penegak hukum, sehingga mereka menikmati
perlindungan atau minimal pembiaran.
Memang, gambaran
premanisme di film-film mengandung dramatisasi. Tetapi film juga mencerminkan
realitas. Terlebih kalau film bertutur tentang kehidupan nyata alias bukan
fiksi. Jadi, gambaran premanisme seperti di film-film bukan tidak mungkin hadir
di dalam kehidupan nyata. Terlebih jika bibit-bibit ke arah itu kini sudah
mulai terlihat.
Bibit-bibit itu
antara lain tecermin dalam kasus yang pekan lalu terungkap: penyekapan seorang
wanita penjual kopi di sekitar pintu tol Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Bukan
hanya disekap, wanita itu juga bahkan dianiaya secara tidak manusiawi oleh
sejumlah preman selama hampir sehari suntuk. Konon, itu gara-gara sang penjual
kopi -- yang baru berjualan sekitar lima bulan -- menolak menyetor upeti
sebesar Rp 100.000 kepada kelompok preman setempat.
Kasus terbaru
premanisme di Jakarta ini kemarin terungkap. Dua pria yang terbelit utang
disekap dan disiksa oleh sekelompok orang dari sebuah perusahaan jasa
pengamanan. Salah seorang korban bahkan menjalani penyiksaan dalam sekapan
selama 1,5 bulan.
Boleh jadi,
kasus-kasus premanisme yang terungkap itu merupakan fenomena gunung es.
Artinya, kasus-kasus yang belum terungkap jauh lebih banyak lagi -- dan mungkin
jauh lebih mengiris hati. Boleh diyakini, banyak korban premanisme enggan
melapor kepada pihak berwajib karena takut. Paling tidak sepanjang secara fisik
masih aman, mereka memilih pasrah dan membiarkan diri terus menjadi objek
premanisme.
Itu pula yang
membuat premanisme berkembang subur. Keengganan dan ketakutan masyarakat --
khususnya mereka yang menjadi korban -- melapor kepada pihak berwajib sungguh
menjadi lahan gembur yang membuat premanisme kian mengakar, berbiak, dan lebih
semena-mena.
Sebagai penyakit
sosial, premanisme sungguh wajib diberantas. Premanisme tak boleh diberi ruang
untuk tumbuh dan berkembang menjadi gangster yang terorganisasi rapi karena
berdampak merusak tatanan sosial-ekonomi, di samping secara psikologis
meresahkan orang banyak.
Menjadi tugas
institusi penegak hukum, khususnya Polri, memberantas premanisme ini. Polri tak
boleh seolah melakukan pembiaran. Polri bahkan wajib proaktif dan bersungguh-sungguh
menyikat premanisme sehingga ketertiban dan ketenteraman di masyarakat bisa
tegak. Dalam konteks ini pula, kesadaran dan keberanian korban-korban
premanisme untuk melapor atau mengadu kepada pihak keamanan harus bisa
ditumbuhkan.
Memang, seperti
penyakit sosial yang lain, premanisme sulit bisa diberantas sampai tuntas tas
tas tas. Tetapi kesungguhan aparat keamanan menegakkan tertib sosial niscaya
membuat premanisme tidak
berbiak atau apalagi tumbuh menjadi gangster.***
Jakarta, 19
September 2013