19 September 2013

Gunung Es Premanisme


Premanisme, khususnya di DKI Jakarta, semakin membuat miris. Bukan saja makin brutal dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan juga premanisme kini terorganisasi rapi. Bahkan, seperti kasus terbaru yang kemarin terungkap di Jakarta, premanisme ini "berbaju" resmi berupa badan usaha. Dengan bernaung dalam badan usaha, premanisme pun seolah beroleh pembenaran secara sosial.

Kenyataan itu jelas membuat miris. Orang serta-merta diingatkan kepada organisasi kriminal seperti tergambar dalam film-film: premanisme identik dengan keonaran atau bahkan kebrutalan nan sadistis. Dalam konteks itu, premanisme sungguh sudah menjadi penyakit yang amat mengganggu ketenteraman masyarakat namun justru seperti punya hak hidup -- karena terorganisasi rapi, termasuk menjalin lobi secara ilegal dengan oknum penegak hukum, sehingga mereka menikmati perlindungan atau minimal pembiaran.

Memang, gambaran premanisme di film-film mengandung dramatisasi. Tetapi film juga mencerminkan realitas. Terlebih kalau film bertutur tentang kehidupan nyata alias bukan fiksi. Jadi, gambaran premanisme seperti di film-film bukan tidak mungkin hadir di dalam kehidupan nyata. Terlebih jika bibit-bibit ke arah itu kini sudah mulai terlihat.

Bibit-bibit itu antara lain tecermin dalam kasus yang pekan lalu terungkap: penyekapan seorang wanita penjual kopi di sekitar pintu tol Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Bukan hanya disekap, wanita itu juga bahkan dianiaya secara tidak manusiawi oleh sejumlah preman selama hampir sehari suntuk. Konon, itu gara-gara sang penjual kopi -- yang baru berjualan sekitar lima bulan -- menolak menyetor upeti sebesar Rp 100.000 kepada kelompok preman setempat.

Kasus terbaru premanisme di Jakarta ini kemarin terungkap. Dua pria yang terbelit utang disekap dan disiksa oleh sekelompok orang dari sebuah perusahaan jasa pengamanan. Salah seorang korban bahkan menjalani penyiksaan dalam sekapan selama 1,5 bulan.

Boleh jadi, kasus-kasus premanisme yang terungkap itu merupakan fenomena gunung es. Artinya, kasus-kasus yang belum terungkap jauh lebih banyak lagi -- dan mungkin jauh lebih mengiris hati. Boleh diyakini, banyak korban premanisme enggan melapor kepada pihak berwajib karena takut. Paling tidak sepanjang secara fisik masih aman, mereka memilih pasrah dan membiarkan diri terus menjadi objek premanisme.

Itu pula yang membuat premanisme berkembang subur. Keengganan dan ketakutan masyarakat -- khususnya mereka yang menjadi korban -- melapor kepada pihak berwajib sungguh menjadi lahan gembur yang membuat premanisme kian mengakar, berbiak, dan lebih semena-mena.

Sebagai penyakit sosial, premanisme sungguh wajib diberantas. Premanisme tak boleh diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang menjadi gangster yang terorganisasi rapi karena berdampak merusak tatanan sosial-ekonomi, di samping secara psikologis meresahkan orang banyak.

Menjadi tugas institusi penegak hukum, khususnya Polri, memberantas premanisme ini. Polri tak boleh seolah melakukan pembiaran. Polri bahkan wajib proaktif dan bersungguh-sungguh menyikat premanisme sehingga ketertiban dan ketenteraman di masyarakat bisa tegak. Dalam konteks ini pula, kesadaran dan keberanian korban-korban premanisme untuk melapor atau mengadu kepada pihak keamanan harus bisa ditumbuhkan.

Memang, seperti penyakit sosial yang lain, premanisme sulit bisa diberantas sampai tuntas tas tas tas. Tetapi kesungguhan aparat keamanan menegakkan tertib sosial niscaya membuat premanisme tidak berbiak atau apalagi tumbuh menjadi gangster.***

Jakarta, 19 September 2013