Kekuasaan
cenderung korup. Konstatasi pemikir Inggris Lord Acton itu seolah dibenarkan
Ketua DPR Marzuki Alie saat menyatakan bahwa DPR tak perlu berperan dalam
pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara. Kewenangan tentang itu, katanya,
perlu ditanggalkan karena sarat benturan kepentingan.
Dengan kata lain,
peran DPR dalam pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara seperti Panglima TNI,
Kapolri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga hakim agung yang kini
sedang berlangsung, sulit diharapkan objektif. Marzuki menyiratkan, proses
pemilihan itu sarat muatan politik.
Memang, DPR
adalah institusi permainan politik. Lobi-lobi politik adalah arena utama di
DPR. Tetapi jika muatan politik mengubah lobi-lobi itu menjadi ajang transaksi
finansial, proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara oleh DPR jadi
kehilangan bobot dan relevansi. Integritas figur yang dipilih pun, karena itu,
layak dipertanyakan.
Praktik
transaksional dalam proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara ini
telak-telak terbukti dalam kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank
Indonesia Miranda Swaray Goeltom oleh DPR periode 1999-2004. Pengadilan
memvonis sejumlah anggota DPR menerima suap sebagai imbalan meloloskan Miranda
terpilih menjadi petinggi Bank Indonesia. Miranda sendiri -- juga orang yang
menyediakan dana suap -- tak terkecuali divonis bersalah dan karena itu dijebloskan
ke penjara.
Dalam proses
pemilihan hakim agung oleh DPR sekarang ini, boleh jadi praktik transaksional
berlangsung pula. Dugaan ini muncul setelah terungkap peristiwa konyol.
Beberapa hari lalu seorang calon hakim agung diberitakan tepergok menyerahkan
sesuatu kepada seorang anggota DPR yang ikut mengujinya. Penyerahan sesuatu itu
dilakukan di toilet DPR di sela proses seleksi calon hakim agung di Komisi III.
Muncul dugaan,
sesuatu yang diserahkan calon hakim agung itu adalah suap agar dia tampil
sebagai figur yang terpilih menjadi hakim agung. Tetapi, seperti biasa, kedua
orang bersangkutan serta-merta menepis dugaan itu. Mereka berdalih, pertemuan
di toilet sama sekali tak disengaja. Interaksi yang sempat terjadi di antara
mereka berdua juga tak diwarnai serah-terima sesuatu yang mengundang dugaan
merupakan suap.
Meski begitu,
dugaan publik justru makin kental karena di sisi lain terungkap pula pengakuan
seorang komisioner Komisi Yudisial. Dia mengaku ditawari suap uang bernilai
miliaran rupiah oleh seorang anggota DPR yang ikut menguji calon hakim agung.
Dia ditawari suap agar "bermain" sehingga Komisi Yudisial meloloskan
orang tertentu sebagai salah satu calon hakim agung yang kemudian akan
diserahkan ke DPR untuk diseleksi dan dipilih.
Pengakuan itu
memberi petunjuk bahwa sang anggota DPR telah "dibeli" orang tertentu
yang ingin diloloskan sebagai calon hakim agung. Jika tidak, mana mungkin
anggota DPR itu melobi dan menawari suap bernilai miliaran rupiah kepada pihak
Komisi Yudisial!
Dalam konteks
luas, pengakuan komisioner Komisi Yudisial itu juga merupakan petunjuk bahwa
praktik transaksional atau suap dalam proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi
negara oleh DPR masih berlangsung. Kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur
Bank Indonesia tampaknya tak otomatis memupus praktik tercela itu.
Karena itu pula,
pernyataan Marzuki Alie sungguh bernas: DPR perlu menanggalkan kewenangan
memilih pimpinan lembaga tinggi negara. Peran itu sendiri sebaiknya
dipercayakan kepada lembaga independen yang terdiri atas unsur-unsur masyarakat
madani dengan tokoh-tokoh yang sudah teruji berintegritas tinggi. Dengan
demikian, proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara bisa diharapkan
objektif: bebas suap dan menghasilkan figur berintegritas.***
Jakarta, 20
September 2013