20 September 2013

Pikiran Marzuki


Kekuasaan cenderung korup. Konstatasi pemikir Inggris Lord Acton itu seolah dibenarkan Ketua DPR Marzuki Alie saat menyatakan bahwa DPR tak perlu berperan dalam pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara. Kewenangan tentang itu, katanya, perlu ditanggalkan karena sarat benturan kepentingan.

Dengan kata lain, peran DPR dalam pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara seperti Panglima TNI, Kapolri, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga hakim agung yang kini sedang berlangsung, sulit diharapkan objektif. Marzuki menyiratkan, proses pemilihan itu sarat muatan politik.

Memang, DPR adalah institusi permainan politik. Lobi-lobi politik adalah arena utama di DPR. Tetapi jika muatan politik mengubah lobi-lobi itu menjadi ajang transaksi finansial, proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara oleh DPR jadi kehilangan bobot dan relevansi. Integritas figur yang dipilih pun, karena itu, layak dipertanyakan.

Praktik transaksional dalam proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara ini telak-telak terbukti dalam kasus pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda Swaray Goeltom oleh DPR periode 1999-2004. Pengadilan memvonis sejumlah anggota DPR menerima suap sebagai imbalan meloloskan Miranda terpilih menjadi petinggi Bank Indonesia. Miranda sendiri -- juga orang yang menyediakan dana suap -- tak terkecuali divonis bersalah dan karena itu dijebloskan ke penjara.

Dalam proses pemilihan hakim agung oleh DPR sekarang ini, boleh jadi praktik transaksional berlangsung pula. Dugaan ini muncul setelah terungkap peristiwa konyol. Beberapa hari lalu seorang calon hakim agung diberitakan tepergok menyerahkan sesuatu kepada seorang anggota DPR yang ikut mengujinya. Penyerahan sesuatu itu dilakukan di toilet DPR di sela proses seleksi calon hakim agung di Komisi III.

Muncul dugaan, sesuatu yang diserahkan calon hakim agung itu adalah suap agar dia tampil sebagai figur yang terpilih menjadi hakim agung. Tetapi, seperti biasa, kedua orang bersangkutan serta-merta menepis dugaan itu. Mereka berdalih, pertemuan di toilet sama sekali tak disengaja. Interaksi yang sempat terjadi di antara mereka berdua juga tak diwarnai serah-terima sesuatu yang mengundang dugaan merupakan suap.

Meski begitu, dugaan publik justru makin kental karena di sisi lain terungkap pula pengakuan seorang komisioner Komisi Yudisial. Dia mengaku ditawari suap uang bernilai miliaran rupiah oleh seorang anggota DPR yang ikut menguji calon hakim agung. Dia ditawari suap agar "bermain" sehingga Komisi Yudisial meloloskan orang tertentu sebagai salah satu calon hakim agung yang kemudian akan diserahkan ke DPR untuk diseleksi dan dipilih. 

Pengakuan itu memberi petunjuk bahwa sang anggota DPR telah "dibeli" orang tertentu yang ingin diloloskan sebagai calon hakim agung. Jika tidak, mana mungkin anggota DPR itu melobi dan menawari suap bernilai miliaran rupiah kepada pihak Komisi Yudisial!

Dalam konteks luas, pengakuan komisioner Komisi Yudisial itu juga merupakan petunjuk bahwa praktik transaksional atau suap dalam proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara oleh DPR masih berlangsung. Kasus suap dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia tampaknya tak otomatis memupus praktik tercela itu.

Karena itu pula, pernyataan Marzuki Alie sungguh bernas: DPR perlu menanggalkan kewenangan memilih pimpinan lembaga tinggi negara. Peran itu sendiri sebaiknya dipercayakan kepada lembaga independen yang terdiri atas unsur-unsur masyarakat madani dengan tokoh-tokoh yang sudah teruji berintegritas tinggi. Dengan demikian, proses pemilihan pimpinan lembaga tinggi negara bisa diharapkan objektif: bebas suap dan menghasilkan figur berintegritas.***

Jakarta, 20 September 2013