01 Maret 2012

Pemberantasan Korupsi di Jalur Bahaya

Nasib pemberantasan korupsi di negeri ini kian seperti spiral. Melingkar-lingkar dan bisa melontarkan amuk akibat frustrasi yang dipicu oleh tekanan kegeraman.

Dalam pengadilan kasus Wisma Atlet dengan terdakwa M Nazaruddin, misalnya, jalannya persidangan seperti labirin yang rumit dan membingungkan. Padahal, keterangan sejumlah saksi menunjukkan bahwa sejatinya kasus yang diduga melibatkan sejumlah elite Partai Demokrat itu amat terang-benderang.

Lima saksi yang dihadirkan, yakni Mindo Rosalina Manulang, Yulianis, Baskoro, serta dua mantan sopir perusahaan Permai Group, jelas-jelas menyebut adanya peran sentral Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam pusaran kasus Wisma Atlet.

Rosalina juga menyebut peran penting mantan Wasekjen Demokrat Angelina Sondakh sebagai 'operator' penghubung proyek Wisma Atlet. Rosa pula yang mengonfirmasi pernyataan Nazaruddin ihwal keterlibatan beberapa elite Demokrat seperti Mirwan Amir dan Andi Mallarangeng.

Maka, ketika Angelina Sondakh memberikan keterangan yang bertolak belakang dengan kesaksian Rosalina, masuk akal jika muncul permintaan untuk dilakukan konfrontasi. Tapi, secara mendadak Rosalina mangkir dari panggilan sidang. Konfrontasi pun batal, dan hakim ogah menjadwalkan ulang konfrontasi itu.

Wajar belaka jika publik mencurigai bahwa persidangan Nazaruddin dipenuhi sandiwara. Ada skenario untuk membuat gelap hal-hal yang sudah terang, sekaligus ada sutradara yang mengatur agar cerita hanya bergulir di wilayah pinggiran.

Begitulah, ketika sebuah kasus menyentuh pusaran kekuasaan, hukum menjadi lunglai bahkan takluk oleh desain besar menyelamatkan figur-figur di sekitar kekuasaan itu. Janji perang besar melawan korupsi yang digelorakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jatuh menjadi seruan kosong tak bersambut.

Tidak terlalu sulit untuk dimengerti mengapa hal itu terjadi karena memang yang diperangi ternyata kawan seiring, anak didik, dan mereka yang mengaku sebagai pengikut sang panglima perang. Salah-salah, pedang yang dihunus bisa mengenai tubuh sendiri.

Tetapi mestinya dilema seperti itu tidak perlu terjadi jika seruan jihad melawan korupsi lahir dari ketulusan. Keberanian untuk membabat koruptor--kendati ia adalah kawan senasib sepenanggungan--justru menunjukkan tingkat kenegarawanan seorang pemimpin.

Sebaliknya, jika keberanian itu tidak muncul bahkan ditukar dengan agenda besar penyelamatan, sumbu kesabaran publik kian pendek. Aksi pembacokan yang dilakukan oleh aktivis antikorupsi Deddy Sugarda terhadap jaksa Sistoyo yang menjadi terdakwa kasus suap adalah fakta paling telanjang yang menunjukkan betapa orang kecewa berat menanti realisasi janji-janji pemberantasan korupsi.

Pemberantasan korupsi berada di jalur bahaya karena hanya membuat frustrasi sosial. Dia seperti bom waktu dengan sumbu yang terus memendek dan siap meledak.***

Sumber: http://www.mediaindonesia.com/read/2012/03/02/302405/70/13/Pemberantasan-Korupsi-di-Jalur-Bahaya