09 Maret 2012

Gerakan Antikorupsi dalam Bahaya


Gerakan melawan korupsi tak boleh surut ataupun melemah. Bukan hanya karena praktik korupsi di negeri Indonesia sudah sangat kronis - dan karena itu tergolong gawat darurat -, melainkan juga karena bagaimanapun korupsi tak boleh ditoleransi. Korupsi, sekecil apa pun, harus diperlakukan sebagai najis dan musuh bersama - karena korupsi merupakan pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia: mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

Karena itu, upaya-upaya yang bersifat menyurutkan gerakan antikorupsi harus dihadang atau bahkan dilawan. Dalam konteks ini, institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak boleh sampai dikebiri. Sebagai garda terdepan gerakan pemberantasan korupsi, keberadaan KPK dengan segala kewenangan yang melekat sekarang ini patut dipertahankan. Bahkan, jika perlu, kewenangan-kewenangan itu - sejauh tidak keluar dari koridor hukum - justru ditingkatkan. Dengan demikian, KPK bisa diharapkan makin optimal dalam mengemban peran dan fungsinya.

Atas dasar itu, revisi UU KPK yang kini bergulir menjadi sangat merisaukan jika semangat yang melatarinya adalah mengebiri KPK. Dengan mempreteli kewenangan KPK melakukan fungsi penindakan, dan karena itu lembaga tersebut menjadi sekadar fokus pada fungsi pencegahan, maka gerakan pemberantasan korupsi sungguh dalam ancaman nyata. Gerakan antikorupsi bukan cuma menuju antiklimaks, melainkan sekaligus mengalami pembusukan.

Kenyataan itu kian membuat miris karena di sisi lain UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagai instrumen KPK dalam mengemban peran dan fungsinya, pada saat bersamaan juga dalam proses pelemahan. Melalui proses revisi yang bergulir sejak Maret tahun lalu, UU Tipikor dicoba ditelikung menjadi sekadar macan ompong. Draf RUU Tipikor yang diajukan pemerintah nyata sekali bersemangat ke arah itu. Pasal ancaman hukuman mati terhadap pelaku tindak korupsi, misalnya, dihilangkan. Padahal pasal tersebut, meski sejauh ini memang belum memakan korban karena tidak diterapkan entah karena alasan apa, bisa membuat miris orang untuk berbuat korup.

Sementara itu, pasal yang mengatur tentang kerugian negara akibat tindak pidana korupsi juga dibredel. Padahal selama ini pasal tersebut banyak digunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat koruptor. KPK sendiri telah menjerat sekian banyak koruptor dengan menggunakan pasal tersebut.

Dalam draf RUU Tipikor pula, kewenangan KPK melakukan penuntutan tidak disebutkan secara jelas. Ini menjadi indikasi bahwa kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan dicoba dibonsai.
Jadi, sekali lagi, gerakan antikorupsi kini dalam ancaman nyata. Perang melawan korupsi sedang dicoba diredupkan menjadi sekadar perang-perangan - bukan perang sungguhan. Gerakan antikorupsi sedang direduksi menjadi perang setengah hati. Sekadar basa-basi.

Itu sungguh berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Berbahaya, karena praktik korupsi niscaya semakin bersimaharajalela dan merontokkan sendi-sendiri kehidupan bersama.

Karena itu, arus yang meredupkan gerakan korupsi harus bisa dibendung. Dalam konteks ini, keinginan mengamputasi institusi KPK mesti dibuang jauh-jauh. Juga niat mengebiri UU Tipikor menjadi sekadar macan ompong kudu dikubur dalam-dalam.

Selebihnya, gerakan antikorupsi justru harus lebih digelorakan. Untuk itu, barisan harus dirapatkan. Ketentuan perundangan yang menjadi dasar gerakan itu wajib diterapkan secara optimal alias jangan lagi setengah hati. Lalu institusi penegak hukum - KPK, kepolisian, dan kejaksaan - juga harus diberdayakan menjadi benar-benar independen dan berintegritas.***