06 Maret 2012

Jangan Simpan di Dalam Laci

Langkah kejaksaan menindaklanjuti laporan masyarakat tentang dugaan rekening gendut milik bekas pegawai Ditjen Pajak, Dhana Widyatmika, patut diapresiasi. Langkah itu menunjukkan bahwa kejaksaan bersikap trengginas. Artinya, kejaksaan menghargai fungsi kontrol masyarakat. Kejaksaan tak serta-merta memandang dengan apriori laporan masyarakat sebagai tidak berharga.

Tetapi dugaan kepemilikan rekening gendut ini tak hanya menyangkut Dhana Widyatmika. Publik berharap kejaksaan -- juga institusi penegak hukum yang lain, yaitu kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) -- menelisik pula dugaan serupa yang melibatkan sejumlah nama lain sebagaimana laporkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Pertengahan tahun lalu, PPATK melaporkan kepada kejaksaan, kepolisian, dan KPK ihwal 294 orang yang terindikasi melakukan tindak pencucian uang. Dari jumlah itu, 148 orang berstatus pegawai negeri, termasuk bupati/walikota, gubernur, polisi/TNI, dan anggota legislatif.

Nah, yang menggelitik, 63 pegawai terbilang relatif masih muda -- berumur di bawah 40 tahun. Meski bukan tergolong pegawai eselon atas atau punya jabatan tinggi, toh rekening mereka sudah gendut. Itu pula yang serta-merta menumbuhkan kecurigaan bahwa orang-orang tersebut terlibat transaksi tidak wajar atau persisnya tindak pidana pencucian uang.

Karena itu, menjadi terasa aneh jika institusi penegak hukum tidak tergerak menindaklanjuti laporan PPATK. Terlebih lagi laporan tersebut konon sudah dilengkapi dengan indikasi-indikasi pidana seputar tindak pencucian uang. Artinya, institusi-institusi penegak hukum sudah cukup punya pijakan kuat untuk bertindak.

Pengabaian laporan PPATK tentang transaksi mencurigakan atau kepemilikan rekening gendut mudah mengundang syakwasangka. Publik menjadi tidak yakin bahwa institusi penegak hukum sungguh-sungguh melaksanakan amanat undang-undang menyangkut pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Bahkan publik juga bisa memvonis bahwa institusi penegak hukum "masuk angin" atas dasar kecurigaan bahwa laporan PPATK ditransaksikan.

Kecurigaan seperti itu berbahaya. Pertama, kepercayaan publik terhadap keberadaan institusi-institusi penegak hukum bisa semakin luntur. Kedua, publik juga bisa menjadi apatis terhadap kesungguhan pemerintah melakukan pemberantasan korupsi, termasuk tindak pencucian uang. Bukan tindak mungkin publik juga akhirnya menjadi permisif terhadap segala bentuk penyimpangan yang berujung penggelembungan pundi-pundi atau rekening secara tidak sah. Dalam kondisi seperti itu, publik malah bisa-bisa ikut ambil bagian -- entah langsung ataupun tidak.

Bahaya ketiga, lembaga pengawas tindak pencucian uang di tingkat global -- Financial Action Task Force (FATF) -- sangat mungkin tergerak memasukkan Indonesia ke daftar hitam negara yang divonis tidak serius membangun rezim antipencucian uang. Vonis seperti itu tak bisa dipandang remeh karena punya konsekuensi serius. Sebagaimana telah dialami sejumlah negara, masuk daftar hitam FATF bisa membuat Indonesia diisolasi dari percaturan transaksi keuangan global.

Karena itu, laporan PPATK tentang orang-orang yang terindikasi melakukan transaksi tidak wajar atau bahkan terlibat tindak pencucian uang sungguh tak patut dianggap sepi. Artinya, institusi-institusi penegak hukum wajib menindaklanjuti laporan itu -- mulai dari tahap verifikasi unsur tindak pidana hingga ke proses hukum lebih lanjut hingga di pengadilan. Syukur-syukur jika vonis hakim juga bersifat telak: memiskinkan terdakwa sebagaimana dialami Gayus Tambunan.

Jadi, wahai institusi-institusi penegak hukum, publik sangat menantikan laporan PPATK ditindaklanjuti -- bukan disimpan rapi di dalam laci!***

Jakarta, 6 Maret 2012