20 Maret 2012

Layanan Jalan Tol


Tindakan Menneg BUMN Dahlan Iskan menyerbu dan kemudian selama beberapa saat bertindak menjadi petugas gardu tol di daerah Semanggi, Jakarta, patut diapresiasi. Memang, tindakan tersebut terkesankan sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Namun banyak pengguna jalan tol setuju terhadap tindakan tersebut.
    
Publik setuju bukan cuma karena kemacetan arus lalu lintas menjelang gerbang tol Semanggi menjadi lancar, melainkan terutama karena tindakan Menneg BUMN itu terasa mewakili pelampiasan unek-unek dan kekesalan mereka selama ini menyangkut mutu layanan jalan tol yang tidak memuaskan.
    
Karena itu, bagi publik, tindakan Menneg BUMN ini merupakan tamparan bagi PT Jasa Marga sebagai operator jalan tol di dalam kota Jakarta. Dengan tamparan itu, Jasa Marga dipaksa mengakui bahwa layanan mereka sungguh buruk. Bahwa Jasa Marga patut memperbaiki orientasi dengan tidak lagi memperlakukan penggguna jalan tol sekadar objek.
    
Selama ini, pengguna jalan tol di dalam kota Jakarta seolah tak punya hak untuk menikmati layanan prima. Seolah-olah mereka cuma berkewajiban membayar akses jalan tol. Soal apakah mereka memperoleh layanan secara patut selama menggunakan jalan tol, pihak operator sepertinya tak pernah ambil pusing.
    
Karena itu, mutu layanan jalan tol di dalam kota Jakarta selama ini boleh dibilang memble. Kelancaran arus lalu lintas menjadi sesuatu yang langka. Arus lalu lintas di jalan tol dalam kota Jakarta hanya benar-benar lancar pada waktu tengah malam sampai dini hari. Begitu pagi merekah, jalan tol tak ubah dengan jalan biasa: padat merayap atau bahkan macet. Kondisi seperti itu berlangsung sampai siang atau bahkan malam hari.
    
Memang, kondisi itu terkait erat dengan volume kendaraan. Tapi pihak operator juga punya kontribusi tidak kecil -- karena mereka nyaris tak pernah terlihat berupaya melakukan pengaturan dan pengendalian menyangkut kelancaran dan kenyamanan arus lalu lintas di jalan tol. Mereka sepertinya melulu berpinsip sederhana: siapa pun bisa mengakses jalan tol -- tak soal kepadatan di jalan tol sendiri sudah uyel-uyelan atau bahkan macet sekalipun.
    
Jadi, pihak operator selama ini tidak berorientasi terhadap mutu layanan. Mereka cenderung memperlakukan pengguna jalan tol melulu sebagai objek. Karena itu, mereka tak pernah tergerak melakukan mekanisme pengaturan dan pengendalian atas arus masuk kendaraan ke jalan tol sehingga volume kendaraan di jalan itu pun tidak kelewat padat.
    
Pengguna jalan tol juga acap dibuat kesal oleh sikap tak acuh pihak operator. Seperti insiden di gerbang Semanggi yang kemarin membuat Menneg BUMN berang -- dan karena itu turun tangan langsung ke lapangan --, gardu tol kerap ditutup sebagian. Entah dengan alasan apa. Tindakan itu -- entah di gardu akses masuk ataupun di gardu akses keluar -- dilakukan sama sekali tanpa beban. Tak terkecuali pada saat lalu lintas kendaraan sedang sangat padat.
    
Aksi Menneg BUMN di gerbang Semanggi seyogyanya menyadarkan operator jalan tol. Bukan cuma Jasa Marga, karena toh mutu layanan operator-operator lain pun, di ruas jalan tol mana pun, selama ini kurang lebih sama saja. Sama-sama cenderung menempatkan pengguna jalan tol sebagai objek.
    
Nah, operator jalan tol kudu berbenah. Melakukan perbaikan ke dalam. Mengubah orientasi. Intinya, pengguna jalan mesti menjadi acuan segala bentuk layanan dalam penyelenggaraan jasa jalan tol ini. Dengan demikian, jalan tol bisa diharapkan berfungsi sebagaimana mestinya: menjadi alternatif yang menjamin kelancaran arus mobilitas sosial-ekonomi.***

Jakarta, 20 Maret 2012