Tindakan Menneg
BUMN Dahlan Iskan menyerbu dan kemudian selama beberapa saat bertindak menjadi
petugas gardu tol di daerah Semanggi, Jakarta, patut diapresiasi. Memang,
tindakan tersebut terkesankan sebagai bentuk arogansi kekuasaan. Namun banyak
pengguna jalan tol setuju terhadap tindakan tersebut.
Publik setuju
bukan cuma karena kemacetan arus lalu lintas menjelang gerbang tol Semanggi
menjadi lancar, melainkan terutama karena tindakan Menneg BUMN itu terasa
mewakili pelampiasan unek-unek dan kekesalan mereka selama ini menyangkut mutu
layanan jalan tol yang tidak memuaskan.
Karena itu, bagi
publik, tindakan Menneg BUMN ini merupakan tamparan bagi PT Jasa Marga sebagai
operator jalan tol di dalam kota Jakarta. Dengan tamparan itu, Jasa Marga
dipaksa mengakui bahwa layanan mereka sungguh buruk. Bahwa Jasa Marga patut
memperbaiki orientasi dengan tidak lagi memperlakukan penggguna jalan tol
sekadar objek.
Selama ini,
pengguna jalan tol di dalam kota Jakarta seolah tak punya hak untuk menikmati
layanan prima. Seolah-olah mereka cuma berkewajiban membayar akses jalan tol.
Soal apakah mereka memperoleh layanan secara patut selama menggunakan jalan
tol, pihak operator sepertinya tak pernah ambil pusing.
Karena itu, mutu
layanan jalan tol di dalam kota Jakarta selama ini boleh dibilang memble.
Kelancaran arus lalu lintas menjadi sesuatu yang langka. Arus lalu lintas di
jalan tol dalam kota Jakarta hanya benar-benar lancar pada waktu tengah malam
sampai dini hari. Begitu pagi merekah, jalan tol tak ubah dengan jalan biasa:
padat merayap atau bahkan macet. Kondisi seperti itu berlangsung sampai siang
atau bahkan malam hari.
Memang, kondisi
itu terkait erat dengan volume kendaraan. Tapi pihak operator juga punya
kontribusi tidak kecil -- karena mereka nyaris tak pernah terlihat berupaya
melakukan pengaturan dan pengendalian menyangkut kelancaran dan kenyamanan arus
lalu lintas di jalan tol. Mereka sepertinya melulu berpinsip sederhana: siapa
pun bisa mengakses jalan tol -- tak soal kepadatan di jalan tol sendiri sudah
uyel-uyelan atau bahkan macet sekalipun.
Jadi, pihak
operator selama ini tidak berorientasi terhadap mutu layanan. Mereka cenderung
memperlakukan pengguna jalan tol melulu sebagai objek. Karena itu, mereka tak
pernah tergerak melakukan mekanisme pengaturan dan pengendalian atas arus masuk
kendaraan ke jalan tol sehingga volume kendaraan di jalan itu pun tidak kelewat
padat.
Pengguna jalan
tol juga acap dibuat kesal oleh sikap tak acuh pihak operator. Seperti insiden
di gerbang Semanggi yang kemarin membuat Menneg BUMN berang -- dan karena itu
turun tangan langsung ke lapangan --, gardu tol kerap ditutup sebagian. Entah
dengan alasan apa. Tindakan itu -- entah di gardu akses masuk ataupun di gardu
akses keluar -- dilakukan sama sekali tanpa beban. Tak terkecuali pada saat
lalu lintas kendaraan sedang sangat padat.
Aksi Menneg BUMN
di gerbang Semanggi seyogyanya menyadarkan operator jalan tol. Bukan cuma Jasa
Marga, karena toh mutu layanan operator-operator lain pun, di ruas jalan tol
mana pun, selama ini kurang lebih sama saja. Sama-sama cenderung menempatkan
pengguna jalan tol sebagai objek.
Nah, operator
jalan tol kudu berbenah. Melakukan perbaikan ke dalam. Mengubah orientasi.
Intinya, pengguna jalan mesti menjadi acuan segala bentuk layanan dalam
penyelenggaraan jasa jalan tol ini. Dengan demikian, jalan tol bisa diharapkan
berfungsi sebagaimana mestinya: menjadi alternatif yang menjamin kelancaran
arus mobilitas sosial-ekonomi.***
Jakarta, 20 Maret
2012