Gerakan melawan
korupsi tak boleh surut ataupun melemah. Bukan hanya karena praktik korupsi di
negeri Indonesia ini sudah sangat kronis -- dan karena itu tergolong gawat
darurat --, melainkan juga karena bagaimanapun korupsi tak boleh ditoleransi.
Korupsi, sekecil apa pun, harus diperlakukan sebagai najis dan musuh bersama --
karena korupsi merupakan penghianatan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia:
mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Karena itu,
upaya-upaya yang bersifat menyurutkan gerakan antikorupsi harus dihadang atau
bahkan dilawan. Dalam konteks ini, institusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
tak boleh sampai dikebiri. Sebagai garda terdepan gerakan pemberantasan
korupsi, keberadaan KPK dengan segala kewenangan yang melekat sekarang ini
patut dipertahankan. Bahkan, jika perlu, kewenangan-kewenangan itu -- sejauh
tidak keluar dari koridor hukum -- justru ditingkatkan. Dengan demikian, KPK
bisa diharapkan makin optimal dalam mengemban peran dan fungsinya.
Atas dasar itu,
revisi UU KPK yang kini bergulir menjadi sangat merisaukan jika semangat yang
melatarinya adalah mengebiri KPK. Dengan mempreteli kewenangan KPK melakukan
fungsi penindakan, dan karena itu lembaga tersebut menjadi sekadar fokus pada
fungsi pencegahan, maka gerakan pemberantasan korupsi sungguh dalam ancaman
nyata. Gerakan antikorupsi bukan cuma menuju antiklimaks, melainkan sekaligus
mengalami pembusukan.
Kenyataan itu
kian membuat miris karena di sisi lain UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)
sebagai instrumen KPK dalam mengemban peran dan fungsinya, pada saat bersamaan
juga dalam proses pelemahan. Melalui proses revisi yang bergulir sejak Maret
tahun lalu, UU Tipikor dicoba ditelikung menjadi sekadar macan ompong. Draf RUU
Tipikor yang diajukan pemerintah nyata sekali bersemangat ke arah itu. Pasal
ancaman hukuman mati terhadap pelaku tindak korupsi, misalnya, dihilangkan.
Padahal pasal tersebut, meski sejauh ini memang belum memakan korban karena
tidak diterapkan entah karena alasan apa, bisa membuat miris orang untuk
berbuat korup.
Sementara itu,
pasal yang mengatur tentang kerugian negara akibat tindak pidana korupsi juga
dibredel. Padahal selama ini pasal tersebut banyak digunakan oleh aparat
penegak hukum untuk menjerat koruptor. KPK sendiri telah menjerat sekian banyak
koruptor dengan menggunakan pasal tersebut.
Dalam draf RUU
Tipikor pula, kewenangan KPK melakukan penuntutan tidak disebutkan secara
jelas. Ini menjadi indikasi bahwa kewenangan KPK dalam melakukan penuntutan
dicoba dibonsai.
Jadi, sekali
lagi, gerakan antikorupsi kini dalam ancaman nyata. Perang melawan korupsi
sedang dicoba diredupkan menjadi sekadar perang-perangan -- bukan perang
sungguhan. Gerakan antikorupsi sedang direduksi menjadi perang setengah hati.
Sekadar basa-basi.
Itu sungguh
berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Berbahaya, karena
praktik korupsi niscaya semakin bersimaharaja-lela dan merontokkan
sendi-sendiri kehidupan bersama.
Karena itu, arus
yang meredupkan gerakan korupsi harus bisa dibendung. Dalam konteks ini,
keinginan mengamputasi institusi KPK mesti dibuang jauh-jauh. Juga niat
mengebiri UU Tipikor menjadi sekadar macan ompong kudu dikubur dalam-dalam.
Selebihnya,
gerakan antikorupsi justru harus lebih digelorakan. Untuk itu, barisan harus
dirapatkan. Ketentuan perundangan yang menjadi dasar gerakan itu wajib
diterapkan secara optimal alias jangan lagi setengah hati. Lalu institusi
penegak hukum -- KPK, kepolisian, dan kejaksanaan -- juga harus diberdayakan
menjadi benar-benar independen dan berintegritas.***