02 Maret 2012

Negeri Dhewek-dhewek

Nasib rakyat di negeri Indonesia ini sekarang ibarat anak yatim piatu. Tak ada yang mengurus! Pemerintah dan parlemen boleh dikata sudah tak mempedulikan rakyat lagi. Pemerintah dan parlemen telanjur tenggelam dalam kesibukan mengurus masalah mereka sendiri. Demikian kompleks masalah itu, sehingga masing-masing tak bisa sempat lagi memikirkan nasib rakyat.

Di sisi pemerintah, masalah demi masalah tak kunjung bisa teruraikan. Masalah satu belum lagi tuntas bisa diselesaikan, eh masalah lain sudah muncul menyusul. Begitu dan begitu terus. Makin hari masalah makin bertumpuk-tumpuk. Entah kapan dan entah bagaimana bisa diselesaikan. Terlebih karena pucuk pemimpin nasional juga lebih banyak sibuk bersolek demi citra diri di depan publik.

Sekadar contoh, masalah yang menguras energi pemerintah adalah birokrasi yang sakit kronis. Birokrasi ternyata tidak diisi oleh manusia-manusia berkompeten. Seperti diungkapkan Menpan, hanya sekitar lima persen aparat birokrasi yang tergolong kompeten. Selebihnya, birokrasi hanya terdiri atas aparat yang tidak menguasai masalah, miskin pengetahuan, juga kerdil dalam soal inisiatif dan tanggung jawab kerja melayani kepentingan rakyat.

Birokrasi juga sakit kronis karena mengidap korupsi stadium lanjut. Meski sudah diinjeksi dengan program remunerasi yang aduhai, tabiat korup jajaran birokrasi malah seperti kian menjadi. Korupsi di tubuh pemerintahan kian menggurita -- karena sudah bukan lagi monopoli pejabat-pejabat eselon atas, melainkan sudah mewabah pula hingga ke level pegawai kelas kroco. Sampai-sampai apa yang dulu tak pernah terbayangkan pun kini sudah kejadian.

Bayangkan saja, pegawai seperti Gayus Halomoan Tambunan atau Dhana Widyatmika -- notabene masih relatif muda dan masih level rendahan -- sudah mampu menumpuk kekayaan hingga puluhan miliar. Gayus sendiri sudah divonis bersalah melakukan korupsi. Sementara Dhana, meski baru menjalani tahap penyidikan di kejaksaan, sangat mengundang kecurigaan karena memiliki kekayaan amat tidak wajar dibanding posisinya sebagai pegawai di level rendah.

Di sisi parlemen, energi juga terkuras bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan lebih untuk kepentingan mereka sendiri. Mulai dari menyalurkan syahwat pelesiran ke luar negeri sampai nafsu membangun gedung dan toilet super mewah. Belum lagi mereka juga sibuk mengakali anggaran negara sebagai objek bancakan.

Lebih menyedihkan lagi, banyak anggota parlemen juga malas mengikuti persidangan menyangkut kepentingan rakyat karena mereka telanjur disibukkan oleh urusan partai atau bahkan urusan pribadi. Namun di muka publik, tanpa malu-malu mereka memasang wajah-wajah tak bersalah. Bahkan tak segan-segan mereka berdusta dan memutarbalikkan fakta. Tak jarang dengan berbusa-busa, di depan televisi mereka berkoar seolah-olah telah habis-habisan memperjuangkan kepentingan rakyat.

Menyedihkan, memang. Karena itu, Indonesia sekarang ini layak disebut negeri dhewek-dhewek. Negeri dengan pemerintah dan parlemen yang hanya sibuk dengan urusan-urusan mereka sendiri. Tetapi karena pemerintah dan parlemen tak memiliki lagi energi untuk mengurus rakyat, hanya sibuk mengurus masalah dhewek, rakyat pun tidak punya pilihan lain kecuali harus mengurus masalah sendiri secara dhewek pula.

Karena itu, jangan salahkan jika rakyat pun memilih jalan sendiri dalam menyelesaikan aneka masalah yang mereka hadapi. Maka preman dan gangster marak di mana-mana dengan berbagai jubah dan topi. Atau, jika tidak menjadi preman dan gangster, rakyat menjadi hakim yang tak segan membakar hidup-hidup maling yang sial tepergok dan tertangkap massa.

Selebihnya rakyat juga tak lagi menghargai simbol negara seperti dalam kasus pembacokan jaksa yang tengah diadili di pengadilan!***


Jakarta, 2 Maret 2012