Target
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen selama lima tahun ke depan, yang
dicanangkan duet presiden-wapres terpilih Jokowi-Jusuf Kalla, bisa dikatakan
ambisius -- tapi bisa juga realistis. Ambisius, kalau yang menjadi patokan adalah
kinerja ekonomi nasional selama ini yang terbukti tidak kinclong.
Untuk bisa
mencapai pertumbuhan 6 persen saja, kinerja ekonomi nasional selama lima tahun
terakhir begitu ngos-ngosan. Bahkan dalam periode 2009-2014 itu, rata-rata pertumbuhan
ekonomi hanya di kisaran 5 persen.
Namun target 7
persen yang dicanangkan duet Jokowi-Jusuf Kalla juga bisa dikatakan tidak
muluk. Target tersebut realistis kalau saja prasyarat yang dibutuhkan bisa
dipenuhi. Juga tantangan kondisioal harus bisa diatasi.
Untuk itu, duet
Jokowi-Jusuf Kalla harus benar-benar mengambil pelajaran dari kegagalan
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukir prestasi gemilang
mengenai pertumbuhan ekonomi ini. Berbagai kelemahan harus bisa diidentifikasi
dan dikoreksi.
Dalam periode
2009-2014, Yudhoyono menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per
tahun. Namun realisasinya, itu tadi: rata-rata hanya di kisaran 5 persen per
tahun. Problem neraca transaksi berjalan, yang selama tiga tahun terakhir didera
defisit serius, memaksa pemerintahan Yudhoyono justru mengerem laju
pertumbuhan ekonomi ini.
Itu pula yang
membuat pemerintahan Yudhoyono tak memasang target muluk menyangkut pertumbuhan
ekonomi untuk tahun depan. Dalam pidato pengantar RAPBN 2015 di depan siding paripurna
DPR, Jumat pekan lalu, Yudhoyono menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun
2015 diproyeksikan 5,6 persen.
Untuk bisa
melampaui proyeksi itu, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tak bisa lain harus
mampu mengatasi defisit transaksi berjalan. Untuk itu, ekspor harus digenjot.
Ini jelas tidak mudah, namun juga tidak musykil sepanjang pintar mengatasi masalah
dan jeli memanfaatan peluang.
Di sisi lain,
impor harus bisa ditekan. Dalam konteks itu, pembatasan konsumsi bahan bakar
minyak (BBM) menjadi keharusan karena sekarang ini nyata-nyata menjadi faktor
yang begitu signifikan membengkakkan impor secara keseluruhan.
Laju pertumbuhan
ekonomi juga ditentukan oleh faktor infrastruktur. Jika infrastruktur
kedodoran alias morat-marit, pertumbuhan ekonomi sulit diharapkan melaju
kencang dan tinggi.
Sekarang ini,
ketersediaan infrastruktur nyata-nyata kedodoran dalam memenuhi keinginan dan
kebutuhan untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi. Upaya-upaya untuk mengatasi
kelemahan tersebut bukan tak dilakukan pemerintahan Yudhoyono. Namun sejauh
ini hasil upaya tersebut tak sebanding dengan tuntutan kebutuhan.
Dalam konteks
itu, sejumlah peraturan atau regulasi belum benar-benar menjadi motor yang
melicinkan bagi kegiatan investasi di bidang infrastruktur ini. Proses
pembebasan lahan, misalnya, masih saja lamban -- karena perizinan belum juga
ringkas alias tidak efisien.
Itulah, antara
lain, pekerjaan rumah yang harus menjadi prioritas kerja pemerintahan
Jokowi-Jusuf Kalla untuk bisa menjulangkan pertumbuhan ekonomi sesuai target.
Abai atau tak mampu menangani pekerjaan rumah tersebut, target pertumbuhan
ekonomi 7 persen yang mereka canangkan pun niscaya cuma menjadi pepesan
kosong.***
23 Agustus 2014