23 Agustus 2014

Pertumbuhan Ambisius?



Target pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen selama lima tahun ke depan, yang dicanangkan duet presiden-wapres terpi­lih Jokowi-Jusuf Kalla, bisa dikatakan ambisius -- tapi bisa juga realistis. Ambisius, kalau yang menjadi patokan adalah kinerja ekonomi nasional selama ini yang terbukti tidak kinclong.

Untuk bisa mencapai pertumbuhan 6 persen saja, kinerja ekonomi nasional selama lima tahun terakhir begitu ngos-ngosan. Bahkan dalam periode 2009-2014 itu, rata-rata per­tumbuhan ekonomi hanya di kisaran 5 persen.  

Namun target 7 persen yang dicanangkan duet Jokowi-Jusuf Kalla juga bisa dikatakan tidak muluk. Target tersebut realistis kalau saja prasyarat yang dibutuhkan bisa dipenu­hi. Juga tantangan kondisioal harus bisa diatasi.

Untuk itu, duet Jokowi-Jusuf Kalla harus benar-benar mengam­bil pelajaran dari kegagalan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengukir prestasi gemilang mengenai pertumbuhan ekonomi ini. Berbagai kelemahan harus bisa diiden­tifikasi dan dikoreksi.

Dalam periode 2009-2014, Yudhoyono menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 persen per tahun. Namun realisasinya, itu tadi: rata-rata hanya di kisaran 5 persen per tahun. Problem neraca transaksi berjalan, yang selama tiga tahun terakhir didera defisit serius, memaksa pemerintahan Yud­hoyono justru mengerem laju pertumbuhan ekonomi ini.

Itu pula yang membuat pemerintahan Yudhoyono tak memasang target muluk menyangkut pertumbuhan ekonomi untuk tahun depan. Dalam pidato pengantar RAPBN 2015 di depan siding paripurna DPR, Jumat pekan lalu, Yudhoyono menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun 2015 diproyeksikan 5,6 persen.

Untuk bisa melampaui proyeksi itu, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tak bisa lain harus mampu mengatasi defisit transaksi berjalan. Untuk itu, ekspor harus digenjot. Ini jelas tidak mudah, namun juga tidak musykil sepanjang pintar mengatasi masalah dan jeli memanfaatan peluang.

Di sisi lain, impor harus bisa ditekan. Dalam konteks itu, pembatasan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) menjadi keharu­san karena sekarang ini nyata-nyata menjadi faktor yang begitu signifikan membengkakkan impor secara keseluruhan.

Laju pertumbuhan ekonomi juga ditentukan oleh faktor infras­truktur. Jika infrastruktur kedodoran alias morat-marit, pertumbuhan ekonomi sulit diharapkan melaju kencang dan tinggi.

Sekarang ini, ketersediaan infrastruktur nyata-nyata kedo­doran dalam memenuhi keinginan dan kebutuhan untuk menggen­jot pertumbuhan ekonomi. Upaya-upaya untuk mengatasi kelema­han tersebut bukan tak dilakukan pemerintahan Yudhoyono. Namun sejauh ini hasil upaya tersebut tak sebanding dengan tuntu­tan kebutuhan.


Dalam konteks itu, sejumlah peraturan atau regulasi belum benar-benar menjadi motor yang melicinkan bagi kegiatan investasi di bidang infrastruktur ini. Proses pembebasan lahan, misalnya, masih saja lamban -- karena perizinan belum juga ringkas alias tidak efisien.

Itulah, antara lain, pekerjaan rumah yang harus menjadi prioritas kerja pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla untuk bisa menjulangkan pertumbuhan ekonomi sesuai target. Abai atau tak mampu menangani pekerjaan rumah tersebut, target pertum­buhan ekonomi 7 persen yang mereka canangkan pun niscaya cuma menjadi pepesan kosong.***

23 Agustus 2014