27 Agustus 2014

Pak Tua Tambal Ban

Sial! Ban belakang tiba-tiba gembos. Pasti kena paku. Pasti paku ranjau yang sengaja ditebar orang culas. Orang yang mengais rezeki dengan cara gampangan tapi merugikan orang lain. Huh! Pasti di dekat sini ada tukang tambal ban. Pasti dia ini orang culas itu. Atau paling tidak dia adalah konco orang yang telah menebar paku di jalan ...

Aku kemudian menyeret motor dengan sedikit enggan bercampur mangkel. Tapi aku mencoba tabah. Juga berharap tak terlalu jauh harus menyeret motor -- sebelum kudapatkan tukang tambal ban. Di dalam hati aku terus mengutuk-ngutuk orang sialan yang telah menebar ranjau paku di jalan.

Angin berhembus. Tidak kencang tapi lumayan menusuk. Sementara suasana di jalan yang kususuri lengang. Hanya satu-dua kendaraan melaju. Maklum malam sudah larut. Hari bahkan sudah berganti. Hari baru sudah mulai bergulir.

Aku sangat akrab dengan suasana jalanan yang lengang itu. Maklum karena tiap hari aku hampir selalu pulang larut malam. Profesi sebagai reporter di sebuah harian memaksaku pulang ketika kebanyakan orang sudah jauh lelap di alam mimpi.

***

Entah berapa jauh jarak sudah ketempuh sambil menyeret motor ketika seseorang menyapaku. Orangnya, bersama seorang lelaki lain, duduk di bangku kayu di depan kios penjual rokok. Sinar lampu di kios itu lumayan menampakkan sosok keduanya. Yang satu, lelaki dekil dengan rambut agak panjang dikucir. Sementara yang satu lagi, yang bermain gitar, sedikit gempal dan beranting sebelah di telinga kiri.

"Kenapa, mas? Ban gembos?" kata si dekil sambil berdiri. Sementara si gempal tak acuh. Dia terus saja mengocok gitar dan menyanyikan entah lagu apa. Suaranya boleh juga.

Belum juga aku menjawab, si dekil berkucir sudah bicara lagi. "Di situ tuh ada tukang tambal," katanya menunjuk ke arah depan.

Aku menghentikan langkah. Mencoba mengatur napas yang sudah agak memburu. Badan yang dibungkus jaket kulit terasa basah oleh peluh.

"Sebelah mana, Bang?" kataku. Dalam hati aku mengutuk-ngutuk: ini orang pasti konco tukang tambal ban juga. Anggota komplotan penebar ranjau paku! Dia sengaja nongkrong di tempat ini untuk memantau sekaligus mengarahkan korban ranjau paku seperti aku sekarang menuju tukang tambal ban. Phui!

Si dekil bergerak selangkah ke arahku. "Tuh, di depan sana kan jalan ini bercabang. Yang kanan menurun itu menuju underpass. Nah, tambal ban di jalan yang kiri. Abis tenda penjual nasi uduk, dia di situ tuh," katanya.

Tempat yang ditunjuk si dekil tak terbilang jauh. Paling seratusan meter. Semangatku untuk mendorong motor jadi berlipat. Maka setelah dengan sedikit enggan menyatakan terima kasih kepada di dekil, aku kembali bergerak menuju titik yang menjadi tempat tukang tambal ban berada.

***

Tukang tambal ban itu adalah lelaki tua berkepala botak. Sebagian rambutnya sudah memutih. Kontras dengan kulitnya yang legam. Meski sudah tua -- mungkin berumur sedikit di atas 60 tahun -- otot lelaki itu masih terlihat kuat. Dalam hati aku mengoceh: ini dia menusia culas itu. Ini dia orang yang mengais rezeki dengan cara menabur ranjau paku di jalan raya.

Tanpa berkata-kata, aku menyerahkan motorku diambil-alih Pak Tua itu. Juga tanpa berkata-kata, Pak Tua kemudian membongkar ban belakang motorku. Dengan sepenuh tenaga, ban luar dia cungkil-cungkil hingga ban dalam jadi terkuak. Lalu dengan gerakan kasar, ban dalam dia tarik-tarik sampai terjulur ke luar.

Huh, aku sudah hapal. Kekasaran itu bukan sekadar soal kebiasaan atau karakter. Kekasaran itu lebih merupakan cara culas pula untuk membuat ban dalam menjadi rusak. Ya, ban dalam sengaja dibikin rusak sehingga harus diganti dengan ban baru. Dan ban baru itu pasti sudah disiapkan Pak Tua sebagai dagangan.

Jadi, orang seperti Pak Tua ini lebih merupakan pedagang yang berkedok tukang tambal ban. Pedagang yang memanfaatkan kondisi darurat orang untuk keuntungan pribadinya. Aku tahu persis keculasan seperti itu. Ya, karena aku sudah beberapa kali menjadi korban -- gara-gara ban gembos. Hampir saban kali ban bocor dalam perjalanan, terutama saat larut malam  seperti sekarang, ujung-ujungnya ya ban dalam harus diganti dengan  ban baru. Nah, di tengah situasi darurat, pedagang culas berkedok tukang tambal ban pun tampil bak dewa penyelamat.

Sialan! Lagi-lagi kini aku harus jadi korban permainan culas orang berkedok tukang tambal ban. Tapi mau bagaimana lagi? Motor tak mungkin kuseret sampai ke rumah. Jarak yang harus kutempuh masih jauh. Jadi, ya suka tidak suka, aku harus manut terhadap permainan yang digelar Pak Tua. Meski haqqul yakin ban belakang cuma bocor, aku siap mengeluarkan uang buat belanja ban baru.

Uang di dompet kurasa cukup untuk itu. Tak mungkin tekor. Harga ban dalam di Pak Tua ini, seperti yang sudah-sudah di tempat lain, paling-paling lima puluh ribu. Mahal, memang.  Harga ban baru di bengkel cuma dua puluh lima ribu. Tapi, yah, namanya juga kondisi darurat: selalu banyak hal jadi abnormal. Jadi, aku pasrah saja kalau harga ban dalam di Pak Tua ini juga selangit.

***

Pak Tua kubiarkan sibuk sendiri. Aku sama sekali tak merasa perlu memelototinya. Aku lebih memilih mengaso di bangku kayu yang memanjang di emperan toko. Dua lelaki yang duduk bersisian di bangku itu menoleh sekilas ketika aku berdehem memberi isyarat tentang kehadiranku. Kedua orang itu lalu beringsut sedikit --  memberi ruang untukku. Setelah itu pandangan mereka lekat lagi ke layar telivisi ukuran mini yang ditaruh di atas kotak kayu bekas kemasan buah jeruk. Televisi itu -- pasti milik Pak Tua -- sedang menampilkan siaran berita.

Di layar televisi itu, seorang tokoh parpol -- yang santer disebut-sebut menerima aliran dana hasil korupsi -- terlihat dirubung insan pers. Tampaknya dia sedang meladeni berondongan pertanyaan wartawan. Ah, aku jadi tertarik. Ingin menyimak apa yang dia omongkan.

"Tuduhan bahwa saya terima dana, itu tidak betul. Tuduhan itu ngawur. Orang yang melontarkan tuduhan itu sedang berhalusinasi," kata sang tokoh penuh percaya diri.

"Tapi keterangan saksi-saksi justru membenarkan tuduhan itu," kata seorang wartawan.

"Mereka juga sedang mengalami halusinasi," ujar sang tokoh. Tetap percaya diri.

"Di persidangan, salah satu saksi bahkan menunjukkan bukti-bukti tentang aliran dana kepada Anda," kata seorang wartawan lain seolah ingin meruntuhkan kepercayaan diri sang tokoh.

"Begini saja ..." kata sang tokoh, "satu sen saja saya terbukti menerima dana itu, gantung saya di Monas!"

Aku tergelak. Juga dua orang di sampingku.

***

Entah berapa lama aku larut memelototi siaran televisi. Tahu-tahu Pak Tua membuyarkan perhatianku. Dia bilang bahwa motorku sudah selesai dikerjakan. Jadi aku sudah bisa meneruskan perjalanan.

"Lho, bannya? Tidak diganti?" kataku heran.

"Ah, tak harus diganti kok! Bannya cuma bocor kena paku. Jadi, cukup ditambal saja," kata Pak Tua seolah sengaja ingin menekankan bahwa vonisku tentang dirinya -- pedagang ban berkedok tukang tambal ban -- adalah ngawur.

Aku masih setengah tak percaya ketika Pak Tua bicara lagi. "Bannya bagus. Bukan ban abal-abal yang begitu ditarik ke luar langsung ambrol," katanya.


Aku tak menanggapi omongan Pak Tua. Aku tak semangat meneruskan percakapan. Aku ingin cepat-cepat meneruskan perjalanan. Pulang. Hari sudah semakin larut.

Maka selembar uang lima puluh ribu pun kuasongkan kepada Pak Tua. "Tak usah pakai kembalian, Pak. Ambil saja semua," ujarku. Bukan berlagak sok dermawan sih. Uang sebesar itu aku ikhlaskan untuk Pak Tua, ya anggap saja sebagai wujud terima kasihku karena dia telah menolong mengatasi kesulitanku. Meski ternyata tak perlu ganti ban, toh dari awal aku sudah memastikan diri rela melepas uang lima puluh ribu. Hitung-hitung buang sial gara-gara ban gembos. Jadi, ya sudah. Kerelaan itu tak boleh dibatalkan. Lagi pula sekali-sekali bikin orang senang, kenapa tidak!

Namun sungguh di luar dugaan, Pak Tua ternyata menampik keinginan baikku. Dia mengasongkan uang kembalian.

"Sudah, tak usah pakei kembalian! Simpan saja. Buat Bapak semua," kataku sambil menampik lembaran uang yang diasongkan Pak Tua.

"Jangan begitu ... Hak saya cuma delapan ribu sebagai ongkos tambal ban. Saya tak boleh menerima lebih dari itu ..." kata Pak Tua seraya tetap mengasongkan uang kembalian.

"Saya ikhlas kok, Pak. Lagi pula bapak sudah menolong saya mengatasi kesulitan saya. Sudah sepatutnya saya berterima kasih," ucapku.

"Saya menghargai itu. Tapi tolong jangan wujudkan rasa terima kasih dengan uang. Jadi, ambillah ini uang kembalian. Ini uangmu," kata Pak Tua sambil menyelipkan uang kembalian itu ke saku bajuku.

Aku benar-benar terpana. Selain menyesal telah berburuk sangka mengenai moral Pak Tua sebagai tukang tambal ban, aku juga terpana lantaran sama sekali tak siap berhadapan dengan orang itu. Tiba-tiba aku sadar, Pak Tua ini sungguh manusia langka. Tidak rakus dan kini kuyakini sepenuhnya bahwa dia jujur serta tulus dalam berbuat.

Ah, aku jadi ingat politisi yang tadi diberitakan di televisi. Kalau saja punya moral seperti Pak Tua ini, sang politisi tentu sama sekali tak perlu sampai berkoar siap digantung di Monas segala -- sekadar untuk meyakinkan orang bahwa dia jujur dan bersih.(*)