26 Agustus 2014

Emak

KALAU saja perempuan tua itu bukan emakku sendiri, mungkin sudah sejak lama aku paksa dia keluar dari rumah ini. Aku usir dia! Aku tak akan peduli dia pergi ke mana atau hidup dengan siapa setelah itu. Aku juga tak akan peduli bagaimana dia kemudian hidup di luar sana. Kelaparan kek, kedinginan kek, jadi gembel kek -- sebodo amat! Aku tak akan peduli. Pokoknya, begitu dia sudah tak di rumah ini lagi, aku pasti bisa merasa plong. Aku pasti merasa terbebas dari himpitan yang selama ini menyesakkan. Aku pasti tak akan lagi didera oleh keruwetan dan kejengkelan mengurus seorang perempuan tua.

Tetapi perempuan tua itu adalah emak. Perempuan yang telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri (ayah meninggal saat aku baru tiga tahun) hingga aku menjadi wanita sempurna sekarang ini: punya suami yang penuh cinta serta dua anak yang sedang lucu-lucunya. 


Jadi, meski emak hampir setiap saat membuatku merasa jengkel atau bahkan mangkel, aku tak mungkin mengusirnya. Mustahil! Aku masih waras untuk berbuat durhaka kepada emak. Jangankan mengusir, memarahinya saja aku enggan. Kalaupun sesekali aku kelepasan menunjukkan ekspresi marah karena sikap dan tindakan emak yang menjengkelkan, seketika itu pula terbit penyesalan. Penyesalan yang teramat dalam. Aku takut, sangat takut, emak sakit hati. Aku tidak ingin menjadi anak durhaka. Bagaimanapun aku harus hormat dan memperlakukan emak dengan penuh kasih sayang.

Namun mencurahkan kasih sayang kepada emak adalah perjuangan yang sangat melelahkan. Ya, karena dalam usia yang hampir 90 tahun sekarang ini, keseharian emak sangat mengurasku secara fisik maupun psikis. Secara fisik, aku dibuat teramat repot mengurus tetek bengek keseharian emak. Mulai dari menyiapkan makanan khusus untuk orang uzur, memandikan dan mendandani, mencuci pakaian, membersihkan tempat tidur, dan banyak lagi.

Kesibukan rutin tiap hari itu acap masih ditambah oleh pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak terduga -- tapi hampir selalu bikin mangkel alias menjadi beban psikis. Pekerjaan-pekerjaan itu biasanya lahir karena kebiasaan buruk atau akibat ulah emak sebagai orang pikun. Misalnya aku acap harus menjemur kasur dan mencuci sprei yang basah kuyup oleh ompol emak. Atau membersihkan kotoran emak yang berceceran di lantai gara-gara emak kebelet dan telat bergerak ke kamar kecil. Tidak jarang pula emak menyenggol piring atau gelas sampai pecah berantakan, sehingga aku harus jungkir balik membersihkan pecahan kaca supaya tak sampai melukai kami -- penghuni rumah.

***

Sebagai manusia yang sudah dilanda pikun, emak bukan saja pelupa yang akut. Lebih dari itu, sikap maupun tindakan emak juga acap menyerupai kanak-kanak. Menjelang tidur, misalnya, emak harus dibujuk-bujuk agar mau pipis dulu. Jika tidak, emak pasti ngompol saat tidur. Padahal, karena tidak mau kasurnya dialasi plastik dan kain gombal, ompol emak menjadi perkara yang menjengkelkan. Kasur dan selimut bukan hanya jadi basah, tapi juga berbau pesing sehingga harus segera dibersihkan dan dikeringkan agar kamar emak tidak berubah menjadi serupa kakus di terminal. Juga agar emak tidak menjadi sakit gara-gara kemudian tidur di kasur lembab bekas ompol.

Jika sakit, emak menjadi tambah merepotkan. Meski cuma sedikit demam atau batuk-batuk, misalnya, emak sunguh-sungguh menjadi kolokan. Bukan cuma mengeluhkan ini-itu secara mengada-ada, melainkan juga emak suka ingin ditemani terus sambil minta dipijati atau dikipasi. Ditinggal sebentar saja, emak pasti ngambek. Kalau tidak jadi ogah makan bubur atau minum obat, emak bersungut-sungut mengatai aku tidak mau mengurus orangtua.

Jadinya, selama emak sakit, pekerjaan-pekerjaan lain di rumah menjadi terbengkalai. Aku tak bisa ke pasar atau ke warung, tak bisa memasak, tak bisa beres-beres rumah, juga tak bisa memandikan dan mengantar ke sekolah dua anakku yang masih kecil-kecil. Untung suamiku penuh pengertian. Dia bukan hanya tidak mengeluhkan keadaan, melainkan juga mau mengambil alih sebagian pekerjaanku yang mampu dia tangani selagi aku harus mengurus emak -- sampai emak pulih kembali. Bahkan suamiku juga menyemangatiku agar tetap telaten dan ikhlas mengurus emak.

Aku sendiri selalu berupaya agar bisa ikhlas dalam mengurus emak ini. Entah emak dalam keadaan sehat maupun selagi jatuh sakit. Aku sadar betul bahwa mengurus emak adalah kewajibanku sebagai anak. Mengurus emak adalah kesempatan bagiku untuk berbakti kepada orangtua. Istilahnya, mumpung emak masih hidup. Jadi, aku harus berbuat sebaik-baiknya kepada emak. Agar tidak timbul penyesalan di kemudian hari manakala emak sudah dipanggil ke haribaan-Nya.

Karena itu pula, aku selalu berupaya membuang jauh-jauh segala bisikan di batin yang memang kadang muncul -- bisikan yang bisa meluruhkan keikhlasanku dalam mengurus emak ini. Aku selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa pengabdianku mengurus emak tak boleh menjadi sesuatu yang sia-sia. Pengabdianku mengurus emak harus menjadi upaya meraih ridha Allah SWT, sekaligus sebagai wujud cinta kasih anak kepada orangtuanya.

Meski begitu, aku toh manusia biasa. Aku bukan dewa atau malaikat yang bisa menerima kondisi apa pun. Nah, dalam mengurus emak ini, kadang aku tak bisa mengelaki perasaan lelah, kecewa, mangkel, jengkel, atau bahkan marah. Itu terutama manakala emak berulah aneh-aneh. Misalnya emak seperti sengaja buang hajat di celana gara-gara aku tak mengabulkan permintaannya dibelikan es krim. Kataku, es krim tidak baik buat kesehatan orang tua seperti emak -- antara lain bisa bikin mencret-mencret. Eh, beberapa saat kemudian emak melepas hajat mencret di celana. Seolah-olah emak ingin mengatakan bahwa tanpa makan es krim pun orang bisa mencret dan kedodoran beol di celana.

Di lain waktu, emak mengomel-ngomel gara-gara aku telat menyiapkan sarapan untuknya. Seolah-olah aku tak menaruh perhatian lagi kepada emak. Padahal soalnya semata tukang bubur langganan terlambat lewat.

Emak juga suka berantem dengan anakku yang notabene masih bocah. Berantem rebutan remote televisi. Dua anakku ingin menonton film kartun, sementara emak tak ingin menikmati tayangan reality show yang menghiba-hiba itu. Dua-duanya tidak mau mengalah. Nah, kalau dengan sehalus dan sebijak mungkin aku memilih berpihak kepada anakku, emak ngambek. Dia lantas mengurung diri di kamar sampai pagi menjelang. Mogok makan. Juga seperti sengaja ngompol di tempat tidur.
  
Pernah pula emak beberapa kali membuat aku sakit hati. Ya, sakit hati. Emak diam-diam pergi ke tetangga, lalu mengata-ngatai aku sebagai anak yang menelantarkan orangtua. Kepada tetangga, emak juga meminta makan. Dia beralasan, hari itu aku tidak memberi emak makan gara-gara semalam emak ngompol di kasur. Emak juga berceloteh bahwa aku tidak pernah memberi makan secara layak. Makanan yang kusuguhkan, katanya, selalu makanan sisa yang sudah basi.

Di lain kesempatan, emak juga berceloteh kepada tetangga bahwa aku menghendaki emak cepat mati. Emak berdalih bahwa aku tak pernah mau tahu manakala emak terbaring sakit. Jangankan membawa emak ke dokter atau rumah sakit, katanya, bahkan sekadar membelikan obat warung pun tidak.

Aku benar-benar syok dan sakit hati mendengar info seperti itu dari tetangga. Tapi aku yakin, tetangga tak percaya begitu saja terhadap omongan emak. Mereka tentu melihat sendiri bagaimana selama ini aku memperlakukan emak begitu baik dan telaten. Sama sekali aku jauh dari gambaran anak durhaka. Mereka juga pasti tahu dan mafhum bahwa kelakuan manusia tua dan pikun memang suka membual. Biasanya karena dia kecewa lantaran keinginannya yang kurang patut tidak dikabulkan.

Meski begitu, aku tetap dongkol setengah mati. Juga sakit hati. Ocehan bohong emak kepada tetangga benar-benar membuat aku seolah anak yang sungguh tidak berbakti. Seolah-olah aku anak yang telah begitu tega menelantarkan orangtua yang sudah uzur.

***

Aku pernah beberapa kali curhat kepada suami ihwal kedongkolan dan sakit hatiku oleh ulah emak ini. Namun dengan lemah-lembut, suami meminta aku agar bersabar dan tawakal. Menurut dia, perasaan itu harus dilawan oleh keikhlasan merawat emak yang suah uzur. Perasaan itu, katanya, adalah ujian. Mungkin ujian dari Allah SWT, mungkin juga ujian dari emak sendiri. Ujian yang akan membuat amalku merawat orangtua benar-benar beroleh keridhaan Allah.

Pernah pula aku curhat sekaligus meminta kepada Teh Susan, kakakku nomor tiga, agar menyambat emak untuk tinggal sementara bersama keluarganya. Sekadar agar aku bisa rehat sejenak dari keruwetan dan kelelahan mengurus emak. Tapi Teh Susan cuma angkat bahu. Dia beralasan tidak punya cukup waktu buat mengurus emak. Untuk mengelola butik khusus muslimah saja dia mengaku sudah kekurangan waktu.

Kakakku nomor dua, Kang Budi, juga mengelak mengambil alih sementara tanggung jawab mengurus emak ini. "Tak mungkin bisa kami merawat emak di sini. Mau ditaruh di mana? Buat kami sekeluarga saja, rumah ini sudah sesak. Tolong pahami," kata Kang Budi. Beranak lima plus seorang istri, kehidupan Kang Budi memang pas-pasan saja. Jadi, Kang Budi memang sangat beralasan mengelak menampung emak. 


Kakakku nomor satu, Kang Dadang, angkat tangan pula. Dia juga tak kurang punya alasan. "Bukan tak ingin gantian mengurus emak. Tapi soalnya, kehadiran emak di sini pasti bikin ruwet rumah tanggaku. Maaf, istriku tak akan mau dibuat tambah repot oleh kehadiran emak di tengah kami. Kau tahu sendiri kan watak kakak iparmu ..." ujar Kang Dadang berbisik. Aku bisa maklum. Kang Dadang memang tipe suami dalam kepitan ketiak istri.

Lalu bagaimana dong? Aku ingin sebentar saja terbebas dari beban mengurus emak. Aku ingin menikmati hidupku sendiri sejenak saja ...

Aku terisak sendiri. Kutahan-tahan agar isakku tak sampai membangunkan suami yang lelap di sampingku. Namun makin kutahan, pedih di hati makin terasa. Pedih bercampur sesal tak terkira. Hening malam seolah ikut mengiris-iris hatiku.

Entah sudah berapa lama aku larut dalam kesedihan ini. Sampai akhirnya perlahan aku membangunkan suamiku. Aku tak kuat lagi menahan sesal sendiri.

"Kenapa, Mam? Kok menangis?" kata suami sambil membuka matanya lebar-lebar.

"Pap, besok kita jemput emak, ya. Emak harus kita bawa pulang. Emak tak boleh tinggal di panti jompo. Biarkan emak tetap hidup bersama kita. Apa pun yang terjadi, emak harus ada di tengah kita ... "

"Benar nih? Yakin?" kata suamiku seolah mencemooh.

Aku mengangguk. Mantap.
  
"Jadi, kenapa kemarin dulu begitu ngotot mengirim emak ke panti jompo?"
  
Aku mengunci mulut. Air mata meluncur ke pipi tanpa mampu kutahan. Aku merasa terpojok. Ingin kukatakan kepada suami bahwa aku sangat menyesal telah mengirim emak ke panti jompo. Meski cuma baru tiga hari, ketidakhadiran emak di tengah kami ternyata membuatku mendadak terhempas ke dalam kehampaan. Sangat dalam. Aku merasa sangat kehilangan emak. Juga merasa sangat berdosa. Seolah-olah aku telah membuang emak.
  
Ah, aku sungguh tak mau kehilangan emak. Aku tak mau jauh dengan emak. Karena itu, kini aku terus meyakinkan diri sendiri bahwa aku sanggup mengurus emak tanpa harus merasa letih, jenuh, dongkol, atau apalagi senewen. Aku siap mengurus emak dengan segenap keikhlasan.***