12 Agustus 2014

Pembatasan Setengah Hati

Pembatasan penyediaan bahan bakar minyak (BBM) subsidi, yang diterapkan pemerintah mulai awal Agustus ini, adalah kebijakan malu-malu sekaligus setengah hati. Malu-malu, karena dengan itu pemerintah terkesankan tak ingin dicap menyusahkan rakyat. Kebijakan itu juga setengah hati karena sedikit sekali menjawab masalah.

Masalah itu sendiri adalah beban subsidi BBM yang terus membengkak seiring konsumsi yang kian jumbo, di samping karena harga minyak di pasar dunia yang menjulang tinggi. Depresiasi kurs rupiah terhadap dolar AS juga ikut memberi kontribusi terhadap pembengkakan subsidi BBM ini.

Tahun lalu, kombinasi ketiga faktor itu membuat realisasi pengucuran subsidi BBM jauh melampui pagu dalam APBN Perubahan 2013, yaitu mencapai 105,1 persen atau Rp 210 triliun dari pagu Rp 199 triliun. Menimbang tekanan ketiga faktor itu semakin serius, tahun ini realisasi anggaran untuk subsidi BBM niscaya lagi-lagi melampaui pagu yang dalam APBN Perubahan 2014 dipatok Rp 246 triliun.

Itu pula yang menjadi alasan pemerintah menggelar pembatasan penyediaan BBM subsidi mulai awal Agustus ini. Sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, kebijakan tersebut ditempuh dalam empat cara.

Pertama, peniadaan solar subsidi di Jakarta Pusat mulai 1 Agustus 2014. Kedua, waktu penjualan solar subsidi di seluruh SPBU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali mulai 4 Agustus 2014 ditiadakan dari pukul 18.00 sampai dengan pukul 08.00 WIB.

Ketiga, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar subsidi untuk lembaga penyalur nelayan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30GT. Keempat, terhitung mulai 6 Agustus 2014, penjualan premium di seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol ditiadakan.

Tetapi, itu tadi, kebijakan tersebut bersifat malu-malu karena khalayak luas tetap saja menjadi susah. Angkutan umum atau nelayan kini kesulitan memperoleh solar subsidi. Mereka juga harus mengeluarkan biaya tambahan yang tidak kecil, karena harga solar nonsubsidi telanjur mahal.

Tak bisa tidak, pada saatnya nanti, itu niscaya berimbas pula ke lingkup luas. Tarif angkutam umum, misalnya, terpaksa harus dinaikkan. Harga aneka barang juga sulit untuk tidak meroket.

Pembatasan konsumsi BBM subsidi memang merupakan kebutuhan guna menyehatkan anggaran negara. APBN tak boleh sampai habis digerogoti kanker subsidi -- terutama subsidi BBM.

Tetapi, secara substantif kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk itu sungguh tidak banyak menjawab masalah. Karena semangat yang melatari kebijakan tersebut bersifat setengah hati -- sekadar mengirit subsidi dalam skala amat terbatas --, maka efek yang dihasilkan pun relatif tidak besar. Belanja subsidi yang bisa dihemat tak seberapa banyak alias tidak signifikan.

Dengan kata lain, beban subsidi BBM secara kesuluruhan tetap saja super jumbo. Karena itu,  bersama beban subsidi listrik, beban subsidi BBM ini terus menjadi kanker bagi kehidupan ekonomi nasional.

Kanker itu praktis menutup ruang fiskal untuk membiayai berbagai program pembangunan. Terlebih impor minyak mentah juga telanjur menjulang, sehingga neraca perdagangan babak-belur digerogoti defisit. Defisit transaksi berjalan pun menjadi sulit diatasi dan berdampak menekan nilai tukar rupiah. Artinya, pertumbuhan ekonomi nasional sulit bisa optimal.

Jadi, seharusnya, penanganan beban subsidi energi ini bersifat komprehensif dan mendasar -- tidak malu-malu kucing dan setengah hati!***

Jakarta, 12 Agustus 2014