26 Agustus 2014

Krisis BBM Subsidi

Kalangkaan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar, yang saat ini melanda sejumlah daerah, harus segera diatasi. Jika tidak, dampak sosial-ekonomi yang mungkin timbul bisa sangat mahal. Selain aktivitas ekonomi terhambat, khalayak luas bisa marah sehingga risiko sosial pun bukan tidak mungkin harus ditanggung.

Sekarang ini saja, dampak sosial-ekonomi kelangkaan BBM subsidi ini sudah mulai menggejala. Di Kabupaten Bandung, misalnya, angkutan umum untuk sejumkah rute banyak yang tak bisa beroperasi karena kesulitan memperoleh premium atau solar.

Kesulitan itu juga membuat banyak kendaraan pribadi -- entah mobil ataupun sepeda motor -- terpaksa dirumahkan, karena BBM nonsubsidi juga tidak mudah bisa diperoleh akibat keterbatasan infrastruktur SPBU. Jelas, karena itu, aktivitas sosial-ekonomi menjadi kacau: mobilitas manusia maupun distribusi barang terhambat.

Justru itu, jika berlarut-larut, kesulitan memperoleh BBM subsidi ini niscaya membuat khalayak luas marah. Sementara kemarahan massa yang bersifat kumulatif amat berbahaya: mudah terpantik menjadi kerusuhan sosial.

Jadi, sekali lagi, kelangkaan BBM jenis premium dan solar saat ini harus segera diatasi. Solusi untuk itu jelas bukan menambah pasokan premium dan solar ke berbagai SPBU. Solusi seperti itu bukan saja tidak cerdas, melainkan juga konyol. Konyol, karena berisiko melahirkan krisis sangat parah: dalam hitungan minggu, premium dan solar benar-benar menghilang karena stok di tangan pemerintah tandas bin ludas.

Stok BBM subsidi di tangan pemerintah sendiri kini sudah menipis. Stok menyusut drastis karena catu BBM subsidi dalam APBNP 2014 dipangkas 2 juto kiloliter, sementara tingkat konsumsi justru cenderung naik terus. Dalam kondisi seperti itu, meski berisiko menimbulkan kelangkaan di tengah masyarakat, stok yang tersisa lantas dihemat agar mencukupi hingga akhir tahun.

Pemerintah seharusnya tidak puyeng memikirkan alternatif kebijakan untuk mengatasi kelangkaan BBM subsidi ini. Toh Bappenas sudah melakukan kajian menyangkut opsi-opsi kebijakan yang bisa ditempuh.

Opsi-opsi itu, pertama, menaikkan harga BBM subsidi secara reguler tiap 6 bulan sekali hingga akhirnya mencapai tingkat keekonomian. Kedua, mematok subsidi dalam satuan tertentu secara tetap, sehingga harga premium dan solar pun tiap saat berfluktuasi sesuai perkembangan pasar.

Kedua opsi itu, tentu, punya konsekuensi-konsekuensi ekonomi, sosial, maupun politik. Tetapi bukankah soal itu sudah dikaji mendalam oleh Dewan Energi Nasional? Bukankah kajian itu juga menyimpulkan bahwa secara prinsip kedua opsi layak diaplikasikan?

Karena itu, pemerintah tak beralasan menunda-nunda masalah.
Dalam konteks ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak perlu lagi ragu dan memilih jaim. Bahkan, karena masa jabatan segera berakhir, soal memelihara citra diri di mata publik ini tak lagi relevan.

Artinya, bagi SBY, mengeksekusi kebijakan solutif atas masalah BBM subsidi di ujung masa pemerintahan sekarang ini tidak menjadi pertaruhan politis lagi. SBY tak berisiko harus menanggung implikasi yang secara politis bisa merugikan. Bahkan tindakan itu menguntungkan: SBY dapat menunjukkan diri bahwa dia bisa bersikap tegas.

Jadi, SBY sungguh tak patut mewariskan kisruh BBM subsidi sekarang ini kepada pemerintahan baru. Sikap tersebut bukan hanya membebani sekaligus menyulitkan pemerintahan baru, tetapi juga bisa kian mematrikan penilaian publik selama ini: bahwa SBY peragu bahkan di tengah kondisi kritis sekali pun.***
 

25 Agustus 2014