27 Agustus 2014

Kematian

TIBA-TIBA aku dicekam suasana kematian. Suasana maut itu terasa hadir di sekelilingku, ke mana pun aku pergi. Mencekam. Menyeramkan. Kematian terasa sangat dekat dan seperti segera menjemputku. Terlebih dalam suasana malam seperti sekarang ini. Terasa sangat sepi dan dingin. Detak-detak jam di dinding seolah mengabarkan saat-saat terakhirku. Detak-detak itu seperti menghitung denyut nadiku sampai suatu ketika aku benar-benar mati.

Suasana maut ini mulai membayangiku sesaat setelah kematian Bodin, kawan karibku. Seperti biasa, pagi itu aku dan Bodin lari pagi menyusuri jalan yang masih lengang. Tetapi pagi itu, dengan sangat tiba-tiba, sebuah mobil menyambar Bodin dari sampingku. Seketika Bodin mati dengan dada remuk. Darahnya menggenang di aspal yang hitam. Sedang mobil yang merenggut nyawanya kabur entah ke mana. Tinggal aku sendirian antara kaget, bingung, dan ngeri. Angin pagi yang dingin seketika menghadirkan suasana mencekam, seperti mengabarkan  giliran kematianku.

Sejak itu aku merasa maut ada di mana-mana, mengintai setiap orang. Dan siang tadi, Ceu Romlah yang mendapat giliran. Dia mati setelah terjatuh di kamar mandi. Begitu mudahnya sebuah kemartian terjadi! Padahal Ceu Romlah masih muda dan sehat walafiat.

Sekarang, setelah kematian Ceu Romlah, makin jelas terasa: kematian itu segera menjadi giliranku. Tidak siapa-siapa lagi. Ya, nyawaku tak lama lagi melayang!

Tapi tidak. Aku tak ingin mati. Aku harus meninggalkan suasana maut ini. Aku harus pergi dari tempat ini. Sekarang juga!

AKU bersyukur. Sampai di kampung, ternyata nyawaku masih utuh menyatu dengan jasadku. Dan anehnya, justru di tempat kelahiranku ini suasana maut itu tak terasa lagi. Di sini, aku tak lagi merasa dibayang-bayangi kematian. Sekarang aku merasa tenteram. Suasana di sini terasa hangat. Tak lagi mencekam dan menakutkan.

Melihat kedatanganku, ibu tak dapat menyambunyikan keheranannya. Mungkin karena aku pulang tidak pada musimnya.

“Kok pulang secepat ini, Jo? Mestinya kan baru bulan depan kamu pulang,” ujar ibu.

“Iya, Bu. Kangen kepada semua yang di sini,” jawabku berbohong.

Malam harinya, kepada ibu aku ceriterakan kegelisahanku. Aku beberkan soal bayangan maut yang terasa terus mengintaiku, sekalian kukabarkan kematian Bodin yang sangat tiba-tiba.

Mendengar itu, ibu hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala. Sedangkan Budi, adikku, tertawa-tawa mengejek. “Ha ... Kecing. Kakak kecing! Sebenarnya kakak takut sama hantu Kak Bodin,” kata Budi mengolok-olok.

“Tidak, Bud. Sama sekali aku tidak takut sama hantu. Lagi pula aku tak percaya pada hantu gentayangan,” kataku menangkis olok-olok adikku.

“Terus, kenapa sampai kabur ke sini segala?” ujar Budi lagi, masih mengejekku.

“Aku ke sini karena takut akan suasana kematian yang tiba-tiba menghimpitku. Aku merasa seperti mau mati!”

Budi kembali tertawa. Tetap mengejek.

“Jo ...” kata ibu setelah Budi beranjak pergi ke kamarnya, “Perkara kematian tak perlu kita takuti. Kapan saja dan di mana saja, kalau memang sudah waktunya mati, kita pasti mati juga. Yang penting kita harus siap menyongsong kematian itu.”

“Justru itu, Bu. Saya belum siap. Saya merasa masih terlalu muda untuk mati.”

Ibu tersenyum. “Siapa pun orangnya, kalau menyangkut soal mati, pasti selalu merasa belum siap. Tapi, Jo, kematian tidak pernah mengenal siap dan tidak siap. Tua, muda, sakit, ataupun sehat, kalau memang sudah waktunya mati pasti mati juga. Kematian tidak pernah kenal kompromi. Oleh sebab itu, seperti ibu bilang tadi, kita harus senantiasa siap untuk mati. Artinya, kita harus mempersiapkan diri. Berbuat amal baik seperti pesan agama.”

Lama sekali kurenungkan kata-kata ibu itu. Bahkan sampai larut malam. Mungkin benar, selama ini aku kurang bersiap menghadapi kemungkinan mati yang bisa terjadi kapan saja. Aku terlalu larut dalam kesenangan duniawi.

Tapi benarkah aku mesti bersiap menyongsong kematian? Ah, aku tak mau mati terlalu dini. Aku masih sangat mencintai dunia.

SEMINGGU lebih aku tinggal di kampung, menghindari suasana kematian. Selama itu pula kuliahku terbengkalai. Tetapi selama itu pula aku bisa merasakan ketenteraman. Di kampung, aku bisa terbebas dari suasana yang mencekam dan menghimpit. Aku merasa tenang dan dapat menghirup kehidupan dengan penuh nikmat.

Hari ini kuputuskan kembali ke Bandung. Tak berapa lama lagi ujian akhir semester berlangsung. Harapanku, di Bandung aku memperoleh ketenteraman seperti di kampung: tak dibayang-bayangi lagi oleh suasana kematian. Aku berharap bisa belajar dengan tenang, mempersiapkan diri menghadapi tentamen.

Sebelum berangkat, sekali lagi ibu menasihati. “Kematian sama sekali tak perlu ditakuti, Jo. Kalau sudah waktunya, kematian pasti datang juga. Tak bisa ditampik. Tak bisa dielaki. Karena itu, yang penting kamu senantiasa siap menghadapi kemungkinan dijemput maut. Kita bersiap dengan mengumpulkan amal ibadah sebanyak mungkin. Cuma itu ....”

ANEH. Sampai di tempat kost, suasana mencekam itu menyergap lagi. Sangat menekan perasaanku. Detak-detak jam di dinding seperti kembali mengingatkan bahwa ajalku segera tiba! Duh, bagaimana ini? Mengapa kematian di sini terasa begitu akrab menguntitku? Benarkah aku segera dijemput ajal?

Tiba-tiba pintu diketuk orang dari luar. Sejenak aku mematung. Ragu. Apalah itu malaikat yang akan mencabut nyawaku? Algojo misterius?

Pintu diketuk lagi. Sedikit lebih keras. Aku makin tegang. Sekarangkah ajalku?

“Jo ...” suara di balik pintu.

Ah, bukan. Di luar itu bukan malaikat pencabut nyawa. Aku kenal betul suara itu. Pasti Waska, teman kuliahku.

Benar saja. Ketika pintu kubuka, Waska berdiri sambil menebar senyum khasnya. “Ke mana saja kau selama ini, Jo” katanya seraya masuk. Waska lalu  duduk di bibir tempat tidurku.

“Aku mudik, Was,” jawabku pendek saja.

“Lho, bukan musimnya kok mudik?”

“Yah, keuangan macet. Terpaksa!” jawabku berbohong.

Waska tersenyum. Giginya putih bersih seperti kata iklan. “Kau sudah tahu, ibunya kawan kita, Apuy, meninggal?” katanya kemudian.

“Ha?!!”

Bukan karena ibunya Apuy itu yang membuatku kaget bukan kepalang. Tapi soal kematian. Ya, kematian! Lagi-lagi kematian. Gila! Setelah ibunya Apuy, lalu giliran siapa? Aku?

“Kok bengong, Jo?”

“Oh, aku ... Aku sangat kaget. Tak menyangka kawan kita Apuy mendadak kehilangan ibu. Kasihan dia ...”

“Yah, begitulah ...”

“Sakit apa gerangan ibunya Apuy itu?”

“Sama sekali tidak sakit. Malah pagi hari sebelum mati itu dia katanya ikut arisan ibu-ibu di kampung tempatnya tinggal.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Bayangan kematian terasa kian dekat. Kian mencekam. Dingin. Oooo, maut segera menyambarku!

“Jo, kau percaya terhadap hal-hal aneh?” kata Waska menyentak kesadaranku.

“Maksudmu?”

“Begini. Kata orang, kalau di malam hari pintu diketuk orang dari luar, tapi saat dilihat tak ada siapa-siapa, konon itu pertanda bakal ada kematian di rumah itu.”

“Was!”

“Nah, sehari sebelum ibunya Apuy meninggal, katanya Apuy mengalami kejadian begitu. Dua kali Apuy terjaga dari tidur karena pintu rumah diketuk dari luar. Tapi setiap kali dilihat, Apuy tidak melihat siapa-siapa di depan pintu itu.”

“Was!”

AKU merasa kian tak tenteram. Jiwaku teramat gelisah. Suasana malam terasa sangat sepi, dingin, dan mencekam. Menyeramkan. Maut kian terasa mendekat. Napasku sesak, sementara jantung berdebur kencang. Keringat dingin meleleh deras. Bayangan-bayangan menyeramkan terpampang jelas di mataku. Teramat menakutkan. Ah, mungkin ini awal kematianku. Mati perlahan-lahan. Ya, barangkali aku sedang sekarat. Tak lama lagi malaikatul maut menjemputku. Dan ruangan ini, kamar ini, telah lebih dulu mati. Dingin. Basah. Lembab. Kamar ini telah menjadi kuburku yang pertama.

“Tok-tok-tok-tok-tok!!”

Nah, kabar kematian telah datang! Maut tak lama lagi menjemput. O, dunia ... selamat tinggal!***

Bandung, 6 Januari 1985