Pengunduran diri
Karen Agustiawan dari posisi pucuk pimpinan Pertamina sungguh mengejutkan.
Bukan saja karena pengunduran diri itu begitu tiba-tiba, melainkan juga lantaran masa bakti Karen terbilang masih panjang. Setelah tahun lalu diperpanjang,
masa jabatan Karen sebagai Dirut Pertamina seharusnya baru
berakhir empat tahun lagi.
Dalam memimpin
Pertamina selama enam tahun terakhir, prestasi Karen tidak minus. Bahkan bisa
dibilang dia berhasil mematrikan prestasi cemerlang. Dia antara lain sukses
membaìwa Pertamina meraih penghargaan prestisius -- Fortune Global 500 --
sebanyak dua kali. Dengan penghargaan itu, Pertamina diakui sebagai
salah satu perusahaan global yang berpengaruh.
Walhasil, dari
sisi kinerja, jelas Karen tak memiliki cukup alasan untuk mengundurkan diri.
Sementara alasan ingin mengajar di Harvard University, AS, terasa mengada-ada. Bagaimanapun,
menjabat Dirut Pertamina lebih prestisius ketimbang menjadi pengajar di
Harvard.
Karena itu,
spekulasi pun sontak merebak seputar latar belakang Karen mengajukan pengunduran
diri sebagai orang nomor satu di Pertamina ini. Terlebih Menneg Dahlan Iskan menyebutkan bahwa
keinginan mengundurkan diri itu sudah berkali-kali diajukan Karen kepadanya.
Keterangan Dahlan
itu secara tidak langsung menjadi petunjuk bahwa Karen memiliki alasan lebih
mendasar untuk mengajukan pengunduran diri ketimbang lantaran ingin mengajar di
Harìvard. Mungkin Karen sudah tidak genah berlama-lama memimpin Pertamina.
Mungkin dia sudah tidak tahan lagi terus duduk di pucuk BUMN tersebut. Kenapa?
Sudah menjadi
rahasia umum bahwa BUMN acap mendapat intervensi atau bahkan tekanan kalangan
orang berpengaruh, meski itu tak selalu terkuak ke permukaan. Tak terkecuali
Pertamina semasa dalam kepemimpinan Karen, tekanan pula.
Tentang itu sebut
saja contoh kasus yang membelit (mantan) Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudy Rubiandini. Dalam proses persidangan di
pengadilan terungkap bahwa Karen mendapat tekanan agar ikut
menyetor fulus kepada oknum anggota parlemen guna memuluskan pembahasan
anggaran Kementerian ESDM.
Bahwa Karen
berkukuh menampik mengalirkan dana ke parlemen, itu tidak berarti dia lantas
tak menanggung beban psikologis amat berat. Maklum, karena tekanan begitu
bertubi dan itu dilakukan oleh
bukan orang sembarangan.
Contoh lain
tekanan yang dihadapi Karen dalam memimpin Pertamina ini
adalah kasus penaikan harga gas elpiji 12 kg nonsubsidi, beberapa waktu lalu.
Karen mendapat tekanan hebat sejumlah pihak yang berpengaruh, sampai-sampai dia terpaksa
membatalkan penaikan harga gas elpiji 12 kg itu.
Langkah penaikan
harga gas elpiji itu sendiri sebenarnya bukan terutama untuk membuat Pertamina
menangguk laba, melainkan karena harga lama yang tidak memenuhi keekonomian sudah
mengakibatkan keuangan BUMN tersebut babak-belur. Tetapi orang-orang yang
berpengaruh tak mau tahu, karena ì mereka ingin tampil sebagai pahlawan di
depan publik.
Kasus-kasus
seperti itu secara psikologis jelas membebani.
Akumulasi beban itu pula, sangat boleh jadi, yang membuat Karen akhirnya merasa
tidak berguna jika terus bertahan memimpin Pertamina. Dalam konteks seperti ini maka keputusan dia
mengundurkan diri lebih bisa dipahami ketimbang alasan ingin mengajar di
Harvard atau mengurus keluarga.
Tapi justru itu,
tindakan Karen mengundurkan diri ini harus dijadikan momentum bagi perbaikan
Pertamina maupun BUMN-BUMN lain. Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru mengikis habis
praktik memanfaatkan kekuasaan untuk mengin
tervensi atau
menekan BUMN. Jika tidak, BUMN tak akan pernah bisa optimal berfungsi menyejahterakan rakyat.***
18 Agustus 2014