18 Agustus 2014

Mengapa Karen Mundur?



Pengunduran diri Karen Agustiawan dari posisi pucuk pimpinan Pertamina sungguh mengejutkan. Bukan saja karena pengunduran  diri itu begitu tiba-tiba, melainkan juga lantaran masa bakti Karen terbilang masih panjang. Setelah tahun lalu diperpanjang, masa jabatan Karen sebagai Dirut Pertamina seharusnya baru berakhir empat tahun lagi. 

Dalam memimpin Pertamina selama enam tahun terakhir, presta­si Karen tidak minus. Bahkan bisa dibilang dia berhasil mematrikan prestasi cemerlang. Dia antara lain sukses memba­ìwa Pertamina meraih penghargaan prestisius -- Fortune Global 500 -- sebanyak dua kali. Dengan penghargaan itu, Pertamina diakui sebagai salah satu perusahaan global yang berpengar­uh.

Walhasil, dari sisi kinerja, jelas Karen tak memiliki cukup alasan untuk mengundurkan diri. Sementara alasan ingin mengajar di Harvard University, AS, terasa mengada-ada. Bagaimanapun, menjabat Dirut Pertamina lebih prestisius ketimbang menjadi pengajar di Harvard.

Karena itu, spekulasi pun sontak merebak seputar latar belakang Karen mengajukan pengunduran diri sebagai orang nomor satu di Pertamina ini. Terlebih Menneg Dahlan Iskan menyebutkan bahwa keinginan mengundurkan diri itu sudah berkali-kali diajukan Karen kepadanya.

Keterangan Dahlan itu secara tidak langsung menjadi petunjuk bahwa Karen memiliki alasan lebih mendasar untuk mengajukan pengunduran diri ketimbang lantaran ingin mengajar di Har­ìvard. Mungkin Karen sudah tidak genah berlama-lama memimpin Pertamina. Mungkin dia sudah tidak tahan lagi terus duduk di pucuk BUMN tersebut. Kenapa?

Sudah menjadi rahasia umum bahwa BUMN acap mendapat inter­vensi atau bahkan tekanan kalangan orang berpengaruh, meski itu tak selalu terkuak ke permukaan. Tak terkecuali Pertami­na semasa dalam kepemimpinan Karen, tekanan pula.

Tentang itu sebut saja contoh kasus yang membelit (mantan) Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Rudy Rubiandini. Dalam proses persidangan di pengadilan terungkap bahwa Karen mendapat tekanan agar ikut menyetor fulus kepada oknum anggota parle­men guna memuluskan pembahasan anggaran Kementerian ESDM.

Bahwa Karen berkukuh menampik mengalirkan dana ke parlemen, itu tidak berarti dia lantas tak menanggung beban psikologis amat berat. Maklum, karena tekanan begitu bertubi dan itu dilakukan oleh bukan orang sembarangan.

Contoh lain tekanan yang dihadapi Karen dalam memimpin Pertamina ini adalah kasus penaikan harga gas elpiji 12 kg nonsubsidi, beberapa waktu lalu. Karen mendapat tekanan hebat sejumlah pihak yang berpengaruh, sampai-sampai dia terpaksa membatalkan penaikan harga gas elpiji 12 kg itu.

Langkah penaikan harga gas elpiji itu sendiri sebenarnya bukan terutama untuk membuat Pertamina menangguk laba, melainkan karena harga lama yang tidak memenuhi keekonomian sudah mengakibatkan keuangan BUMN tersebut babak-belur. Tetapi orang-orang yang berpengaruh tak mau tahu, karena ì mereka ingin tampil sebagai pahlawan di depan publik.

Kasus-kasus seperti itu secara psikologis jelas membebani. Akumulasi beban itu pula, sangat boleh jadi, yang membuat Karen akhirnya merasa tidak berguna jika terus bertahan memimpin Pertamina. Dalam konteks seperti ini maka keputusan dia mengundurkan diri lebih bisa dipahami ketim­bang alasan ingin mengajar di Harvard atau mengurus keluarga.

Tapi justru itu, tindakan Karen mengundurkan diri ini harus dijadikan momentum bagi perbaikan Pertamina maupun BUMN-BUMN lain. Menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru mengikis habis praktik memanfaatkan kekuasaan untuk mengin­
tervensi atau menekan BUMN. Jika tidak, BUMN tak akan pernah bisa optimal berfungsi menyejahterakan rakyat.***

18 Agustus 2014