26 Agustus 2014

Lelaki Gendeng

Seisi kampung kami mendadak geger. Semua orang kaget sekaligus terheran-heran. Keheranan mereka tertuju kepada seorang wanita bernama Maira, salah satu warga kampung kami. Mereka terheran-heran karena Maira hamil. Bidan di desa kami memastikan bahwa kehamilan wanita itu  kini memasuki bulan keempat.

Kalau bukan bidan yang memastikan kehamilan itu, kami tak bakalan sedikit pun percaya. Betapa tidak, karena Maira  bukan cuma tidak punya suami,  melainkan juga karena didekati lelaki pun rasa-rasanya hampir mustahil. Hanya lelaki tolol atau bahkan kurang waras yang sudi mendekati dan menikmati tubuh Maira ini.

Sebagai wanita yang terbilang masih muda -- sedikit di atas 20 tahun --,  Maira sama sekali tidak mengundang minat kaum lelaki. Pesona raut wajahnya jauh di bawah rata-rata. Dia sama sekali tidak bisa dikatakan cantik. Bahkan sedikit menarik pun tidak! Badan Maira juga tidak tergolong bahenol alias tidak molek. Badan Maira kerempeng dan di beberapa bagian  bernoda kehitaman bekas koreng. Sudah begitu, kulitnya juga dekil. Satu hal lagi, badan Maira selalu meruapkan aroma tidak sedap karena jarang ganti busana dan malas mandi!

Tapi yang paling parah adalah bahwa mental Maira ini terbelakang. Meski fisik sudah termasuk dewasa, mental Maira lebih mirip anak usia taman kanak-kanak! Konon, mental Maira tidak berkembang sebagaimana mestinya. Entah kenapa. Mungkin bawaan sejak lahir.

Jadi, Maira lebih merupakan anak balita dalam tubuh wanita dewasa. Dalam bahasa lugas, ya itu tadi: dia terbelakang secara mental. Atau, seperti kata sebagian orang di kampung kami, dia adalah wanita idiot.

Karena itu, sungguh mengherankan bahwa Maira kini berbadan dua. Orang-orang di kampung kami pun wajar menjadi bertanya-tanya: siapakah kiranya lelaki gendeng yang telah menanam benih di rahim Maira ini? Kok bisa-bisanya lelaki itu punya gairah menikmati tubuh Maira!

Ah, siapa pun dia, pasti lelaki itu punya kelainan jiwa. Lelaki itu pasti tidak waras.

***

Maira adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Dua adiknya laki-laki. Dua-duanya merantau ke Jakarta sejak beberapa tahun terakhir -- dan hanya pulang sebentar saja saban Lebaran. Entah apa pekerjaan mereka di kota besar itu. Ibu mereka, saban kali ditanya orang, selalu bilang bahwa dua anak lelakinya yang sudah remaja itu kerja serabutan. "Pokoknya kerja apa saja. Yang penting menghasilkan uang, sehingga tidak menjadi beban keluarga," kata wanita yang kelihatan jauh lebih tua ketimbang usianya yang menurut dia sendiri sekitar 40-an tahun itu.

Sudah hampir sepuluh tahun ini wanita itu menjanda. Suaminya -- ayah Maira dan dua adiknya -- meninggal secara tragis. Dia terkubur hidup-hidup dalam insiden longsornya bukit pasir di desa kami. Bukit pasir itu adalah gantungan hidup sejumlah warga kampung kami, termasuk ayah Maira.

Tapi itu dulu. Sekarang  tidak lagi. Penggalian pasir di bukit itu kini dilakukan menggunakan alat-alat berat milik seorang tauke. Tauke itu pula yang sekarang menjadi juragan pasir di kampung kami setelah dia menukar bukit milik Ki Arjan itu dengan sebuah mobil minibus plus sejumlah uang. Ki Arjan sendiri, setelah tidak lagi menjadi bandar pasir, sekarang tampil sebagai juragan ojek sepeda motor. Nah, sejumlah orang yang dulu mengais rezeki dengan menambang pasir, kini menjadi penyewa dan pengemudi ojek milik Ki Arjan. Sebagian lagi menjadi kuli angkat pasir ke truk di bukit yang sekarang dikuasai tauke itu.

***

Ibu Maira -- oya, namanya Mak Rohi -- juga mengais rezeki di bukit itu dengan menjadi penjual asongan nasi uduk ikan jambal. Mungkin karena murah, nasi uduk Mak Rohi digemari kuli angkat pasir maupun sopir dan kernet truk. Jadi, Mak Rohi tak kesulitan menjajakan dagangan. Nasi uduknya selalu habis terjual. Tapi, memang, dagangan Mak Rohi tak pernah  banyak. "Kalau bikin banyak, takut tidak habis. Kan banyak saingan," kata Mak Rohi beralasan.

Namun alasan sesungguhnya adalah Mak Rohi kurang modal.
Dia tak mampu menyisihkan sebagian keuntungan untuk menambah modal. Semua keuntungan dari berjualan nasi uduk selalu habis untuk ongkos hidup sehari-hari Mak Rohi bersama Maira.

Kemelaratan memang terus membelit kehidupan Mak Rohi sejak dulu. Hidup susah dan miskin sudah menjadi sejarah hidup Mak Rohi -- bahkan sejak dia belum lahir. Dia mewarisi kemiskinan dari orangtuanya.

Namun Mak Rohi tak pernah mengeluh. Dia selalu tabah menghadapi kesulitan hidup. Tak terkecuali setelah kini Maira ketahuan hamil entah oleh siapa. Mak Rohi tidak meradang menyesali nasib. Bahwa Maira hamil tanpa jelas siapa lelaki yang harus bertanggung jawab, Mak Rohi tak ambil pusing.

"Dipikir juga percuma saja karena memang kita tidak tahu siapa yang harus dimintai tanggung jawab! Coba, emang siapa kira-kira lelaki yang telah bikin anakku bunting ini? Sampeyan berani tunjuk hidung? Hayooo ..." kata Mak Rohi kepada orang-orang yang sok ikut campur urusan orang lain.

Maira  sendiri sudah ditanyai entah oleh berapa orang ihwal lelaki yang telah menghamilinya. Tapi jawaban Maira malah membingungkan karena terus berubah-ubah. Kepada haji Apud, misalnya, dia menunjuk bahwa lelaki yang telah menggaulinya adalah pemulung yang biasa beroperasi di kampung kami. Sementara kepada Gan Tubeng, Maira menyebut nama seorang lelaki penjual bubur. Lalu kepada Guru Danu, Maira mengaku digauli oleh tukang jahit keliling.

Entah berapa nama ditunjuk Maira sebagai lelaki yang telah menghamilinya itu. Pokoknya, setiap kali ditanya orang, jawaban Maira selalu berlainan. Maka orang-orang pun bingung. Warga kampung dibuat tak beroleh pegangan untuk sekadar membantu menyeret lelaki yang harus bertanggung jawab atas kehamilan Maira ini.

Meski begitu, setiap pengakuan Maira tentang lelaki yang telah menabur benih di rahimnya itu selalu saja mengundang heboh. Seolah-olah nama yang dibisikkan Maira hampir pasti adalah ayah si jabang bayi di perut Maira. Saat Maira menyebut lelaki pemulung, misalnya, orang-orang seketika riuh dan menjadi geram. Caci-maki terhadap pemulung itu serta-merta berhamburan sebagai ekspresi simpati mereka terhadap nasib Maira.

Tak hanya itu. Orang-orang juga  kemudian tergerak menciduk dan menginterogasi si pemulung. Lelaki itu nyaris dibogem beramai-ramai kalau saja tidak dihalangi Guru Danu dan Gan Tubeng -- karena dia menampik mentah-mentah tuduhan sebagai lelaki yang telah menghamili Maira. Orang-orang juga makin geram lantaran lelaki itu berkukuh membantah dan emoh menikahi Maira.

Persoalan baru kemudian kelar setelah si pemulung tertuduh itu dihadapkan langsung kepada Maira. Eh, tanpa sikap bersalah sedikit pun Maira ternyata menggeleng. "Bukan dia kok. Bukan!" katanya.

Terang saja orang-orang pun jadi bengong sekaligus mangkel. Mereka merasa telah dipermainkan oleh Maira.

"Jadi bukan orang ini yang telah menghamilimu?" ujar haji Apud mencoba memastikan.

Maira lagi-lagi menggelengkan kepala. "Bukaaaaaan ..." katanya seolah mengejek.

Haji Apud, juga orang-orang lain, menarik napas. Jengkel. "Jadi, siapa sebenarnya lelaki yang telah membuat perutmu membuncit itu?" kata Gan Tubeng menyela. "Ayo bilang dengan jujur biar kami bisa menyeret lelaki itu agar bertanggung jawab!"

Maira lantas menyebut si pedagang bubur. Tapi saat lelaki itu dipertemukan, Maira lagi-lagi menggeleng. Dia menampik lelaki itu sebagai ayah jabang bayi dalam kandungannya.

Kejadian serupa terulang hingga beberapa kali dan melibatkan beberapa nama lelaki. Maira seperti sengaja mempermainkan orang sekampung. Karena itu, orang-orang pun menjadi kesal sekaligus tidak peduli lagi terhadap kehamilan Maira. Tapi akibatnya, siapa lelaki yang telah menghamili Maira akhirnya tetap misterius. Cuma menjadi teka-teki. Kecuali Maira sendiri, tak seorang pun tahu siapa lelaki itu.

Namun haji Apud belakangan punya pikiran cemerlang. "Kita lihat saja nanti bayinya mirip siapa. Nah, lelaki yang mirip bayi itu pasti orang yang tekah menghamili Maira ..."

Orang-orang bergemuruh tanda setuju.

***

Waktu terus berjalan. Kehamilan Maira berlangsung tanpa kendala. Makin hari perutnya makin membuncit. Meski minim perawatan medis, dia tak sekalipun mengalami sakit-sakit ataupun kepayahan. Bahkan sekadar mengeluh pun tidak.

Nah, tadi sore Maira menunjukkan tanda-tanda hendak melahirkan. Orang-orang pun seketika heboh. Maira segera dilarikan beberapa warga ke bidan di ujung desa, menggunakan mobil milik Gan Tubeng. Istriku ikut mengantar.

Selepas adzan isha, istriku muncul di rumah. Tiga anak gadisku segera merubung ibunya. Berondongan pertanyaan seputar persalinan Maira pun menghambur dari mulut mereka.

"Maira sudah selamat melahirkan. Dia masih dirawat di tempat bidan," kata istriku.

"Bayinya?" kata si bontot.

"Bayinya juga selamat dan sehat. Bayinya laki-laki."

"Mirip siapa bayinya, Mah?" kata si bontot lagi.

"Iya, Mah. Mirip siapa bayi itu?" kata si sulung  menimbrung karena tak sabar menunggu jawaban.

Istriku menggelengkan kepala. "Gak tahu mirip siapa. Kayaknya tidak mirip siapa-siapa di kampung kita ini," katanya.

Ohh, aku lega sekali. Bayi Maira tak mirip siapa pun! Berarti topengku aman. Berarti orang-orang tetap tak bakal tahu bahwa akulah lelaki gendeng itu. Hahahahaa ... (*)