Perpanjangan
kontrak pihak asing atas pengelolaan blok-blok migas yang habis masa bisa
bermakna pengulangan kesalahan sejarah -- dan karena itu mestinya tidak boleh
terjadi. Pertama, karena kontak pihak asing selama ini atas blok-blok migas
jelas mengabaikan konstitusi yang tandas mengamanatkan bahwa sumber daya
ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak wajib dikuasai negara.
Kedua, karena
pengelolaan blok-blok migas oleh pihak asing juga terbukti relatif tidak
menyejahterakan rakyat. Pihak yang diuntungkan hanya sedikit kelompok. Itulah
para pemburu rente. Sementara rakyat kebanyakan sedikit sekali bisa menikmati
manfaat ekonomi sumber daya migas ini. Buktinya, tingkat kemiskinan masih saja
relatif tinggi.
Padahal alasan
untuk menyejahterakan rakyat ini yang dulu di awal Orde Baru melandasi
kebijakan pemerintah memberikan kontrak pengelolaan blok-blok migas kepada
pihak asing, di samping alasan bahwa saat itu kita belum sanggup secara ekonomi
maupun teknis.
Kini, perusahaan-perusahaan
nasional -- entah BUMN ataupun swasta -- boleh diandalkan dalam mengelola
lapangan migas ini. Mereka memiliki kemampuan teknis-teknologis maupun
ekonomis. Itu sudah mereka tunjukkan dalam mengelola sejumlah lapangan migas di
dalam negeri atau bahkan di mancanegara.
Dalam konteks
itu, mereka jelas bersaing dengan perusahaan perusahaan pertambangan milik
raksasa kelas dunia seperti Total (Prancis), British Petroleum dan Shell
(Inggris), juga Chevron dan ExxonMobil (Amerika Serikat).
Karena itu,
sungguh naif jika kontrak pihak asing atas blok-blok migas yang habis masa
malah diperpanjang. Dalih bahwa perusahaan-perusahaan nasional tidak meyakinkan
dalam kemampuan ekonomi maupun penguasaan aspek teknis-teknologis
untuk
mengambil-alih pengelolaan blok-blok migas itu amat mengada-ada. Dalih itu
lebih terasa sekadar pembenaran alias justifikasi atas sikap proasing.
Begitu pula
alasan bahwa potensi migas di blok-blok yang habis masa kontrak itu relatif
tinggal sedikit, sehingga kegiatan ekploitasi pun cenderung tidak efisien, juga
patut diragukan. Bahkan alasan tersebut tidak masuk akal dengan kenyataan bahwa
pihak asing sendiri begitu gigih untuk bisa memperoleh perpanjangan kontrak.
Jadi, sudah
saatnya perusahaan-perusahaan nasional diberi kepercayaan melanjutkan
pengelolaan blok-blok migas habis masa kontrak yang selama dikangkangi asing.
Sekali lagi, kesanggupan mereka untuk itu relatif sudah bisa diandalkan.
Ini sekaligus
juga menjadi landasan untuk mengoreksi kekeliruan sejarah: pengelolaan lapangan
migas tidak mengindahkan amanat konstitusi.
Dalam konteks
itu, semangat nasionalisasi industri migas di Bolivia dan Venezuela bisa
menjadi rujukan. Bukan saja nasionalisasi itu berlangsung relatif lancar dan
aman, melainkan terutama nyata-nyata berdampak menyejahterakan rakyat.
Mungkin
nasionalisasi industri migas ala Bolivia dan Venezuela tak bisa begitu saja
kita tiru. Secara politis, langkah seperti kedua negara itu amat resisten
mengundang tekanan negara-negara maju yang menjadi asal perusahaan-perusahaan
asing pemegang kontrak blok-blok migas di negeri kita. Bagaimanapun,
negara-negara itu jelas tak akan diam seribu bahasa jika kita melakukan
nasionalisasi industri migas ala Bolivia dan Venezuela. Sementara posisi tawar kita
sendiri dalam berhadapan dengan mereka, patutb diakui, relatif lemah.
Jadi,
nasionalisasi industri migas ala Bolivia dan Venezuela berisiko merepotkan
dalam konteks global. Karena itu, tampaknya langkah paling mungkin dan relatif
aman adalah tidak memperpanjang berbagai kontrak perusahaan asing atas blok
migas yang sudah habis masa -- dan menyerahkan kelanjutan pengelolaan blok-blok
itu kepada perusahaan nasional.***
Jakarta, 28
Oktober 2013