03 Juli 2008

Awas Manuver Mafia Minyak!

Mafia minyak di negeri kita ibarat angin busuk. Amat terasa menyengat, tapi tak kelihatan wujud. Karena itu pula, antara lain, mafia minyak tak pernah bisa disentuh. Tak pernah bisa diberantas.

Upaya-upaya membasmi mafia minyak memang bukan tak pernah terbersit di kalangan penentu kebijakan. Sejumlah gagasan, kebijakan, atau bahkan tindakan tercatat pernah dicanangkan pemerintah. Toh setiap langkah itu selalu saja kandas. Selalu saja berakhir sekadar sebagai keinginan.

Praktik mafia dalam dunia perminyakan kita bukan gejala kemarin sore. Boleh jadi, mafia minyak sudah sama tuanya dengan sejarah perminyakan di negeri kita. Paling tidak, mafia minyak di negeri kita sontak tumbuh subur seiring booming perminyakan nasional pada dasawarsa 1970-an.

Booming itu, yang dipicu krisis harga minyak di pasar dunia, disadari ataupun tidak telah melahirkan moral hazard. Bukan saja oknum-oknum petugas lapangan, bahkan petinggi industri perminyakan kita ikut terjerembab dalam moral hazard beraroma praktik mafia ini. Sampai-sampai perusahaan negara yang mengurusi minyak pun secara teknis sempat mengalami bangkrut.

Jadi, mafia minyak ini sudah berurat dan berakar. Tak mengherankan kalau mereka sulit sekali bisa dibasmi. Rezim penguasa boleh berganti-ganti. Kebijakan juga boleh diubah-ubah untuk disempurnakan. Tetapi tetap saja mafia minyak sakti mandraguna: tak pernah bisa disentuh, apalagi diberantas. Praktik mafia terus saja menjadi hantu yang menyedot industri perminyakan kita menjadi amat tidak ekonomis.

Kerugian akibat sedotan hantu mafia minyak ini naudzubillah besar. Dalam setahun, nilai kerugian itu bukan lagi miliaran, tapi diyakini hingga triliunan rupiah. Ya, karena praktik mafia menggerogoti hampir setiap sendi industri perminyakan kita.

Justru itu pula, praktik mafia mengakibatkan negara menanggung kerugian. Rakyat juga dibuat sengsara karena harga BBM di dalam negeri menjadi jauh di atas semestinya. Bahkan, konon, di tengah lonjakan harga minyak di pasar internasional sekarang ini, harga BBM di dalam negeri tak mesti naik kalau saja industri perminyakan kita benar-benar bebas praktik mafia.

Tetapi, itu tadi, kiprah mafia minyak ini sekadar terasa sebagai angin busuk. Karena nyaris tak pernah berwujud, praktik mafia dengan segala kerugian yang diderita negara hanya bisa direka-reka. Sekadar dikira-kira.

Karena itu, kita amat berharap penggunaan hak angket DPR tidak ditujukan untuk soal lain kecuali untuk membongkar sekaligus membasmi praktik mafia ini. Justru lewat peran DPR melalui penggunaan hak konstitusional berupa angket maka praktik mafia bisa dibuktikan benar adanya -- bukan lagi sekadar ibarat hantu ataupun angin busuk.

Namun, tentu, itu bukan pekerjaan mudah. Paling tidak, mafia minyak sendiri jelas tak akan tinggal diam. Mereka tak bakal rela hati dibongkar dan kemudian dilumat bak kecoa. Seperti yang sudah-sudah, boleh diyakini bahwa mereka akan berupaya dengan berbagai cara menjegal setiap langkah ke arah tindakan yang menghancurkan kepentingan mereka sendiri.

Dengan kata lain, seiring proses angket di DPR, mafia minyak amat mungkin melakukan manuver. Itu bisa berupa akrobat politis, bisa pula tindakan ekonomis. Manuver ini, boleh jadi, pertama-tama dan terutama ditujukan terhadap Panitia Khusus (Pansus) Angket DPR sebagai institusi yang sengaja dibentuk untuk membongkar dan membasmi mafia minyak.

Jadi, seiring proses angket di tangan Pansus DPR, manuver mafia minyak ini sungguh perlu diwaspadai. Intinya, jangan sesekali lengah. Mafia bisa melakukan manuver dari delapan penjuru angin. Manuver juga bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, termasuk yang tak pernah terpikirkan sekalipun.

Tentu, sungguh konyol dan kelewatan jika Pansus Angket DPR sendiri sampai tergoda bermain mata dengan mafia minyak ini. Bukan saja itu menjadi bukti bahwa penggunaan hak angket hanya main-main, melainkan juga berimplikasi kian merusak citra kelembagaan DPR. Publik akan beroleh kesan bahwa DPR sudah menjadi sarang korupsi.
Jakarta, 2 Juli 2008