27 Juli 2008

Hemat Energi di Dunia Bisnis

Setelah industri, sektor bisnis segera menyusul menjadi sasaran program penghematan energi listrik. Soal itu akan diatur lewat surat keputusan bersama (SKB) Mendag dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. SKB tersebut kini sedang disiapkan dan tak lama lagi diluncurkan.

Dengan itu, pusat-pusat perbelanjaan, perhotelan, perkantoran swasta, juga papan reklame yang menghiasi berbagai pusat kegiatan sosial-ekonomi akan dikondisikan hemat menggunakan energi listrik. Intinya, mereka tak bisa lagi bersikap sesuka hati. Tak lagi bisa mentang-mentang sanggup bayar lantas jor-joran dalam mengonsumsi energi listrik.

Tapi belum jelas, bagaimana mekanisme pengawasan atas program hemat energi listrik di dunia bisnis ini. Yang pasti, program itu sendiri memberi kesan bahwa pemerintah memang serius ingin menghemat energi listrik. Pemerintah tak menghendaki defisit listrik sekarang ini mengakibatkan pemadaman bergilir. Bagaimanapun, pemadaman bergilir -- meski terkesan adil -- sungguh tidak elok sekaligus tidak nyaman.

Pemadaman bergilir sungguh tidak elok karena hanya menampakkan kelemahan atau bahkan kegagalan pemerintah dalam memilih strategi pembangunan energi listrik nasional selama ini. Pemadaman bergilir juga tidak nyaman karena jelas berakibat menganggu kelancaran aktivitas keseharian masyarakat. Juga tidak nyaman, karena pemadaman bergilir mengudang sinisme: bahwa pemerintah tidak becus mengatasi defisit listrik.

Namun dilihat dari perspektif lain, penerapan program hemat energi listrik di dunia bisnis ini juga menunjukkan kecenderungan tidak sehat di tengah masyarakat kita. Dunia bisnis nasional, khususnya, sejauh ini seolah tidak peduli terhadap masalah defisit listrik yang nyata-nyata sedang kita hadapi. Mereka seperti tak mau tahu dan terkesan menganggap bahwa masalah itu semata urusan pemerintah.

Dunia bisnis kita tidak terlihat tergerak melakukan langkah-langkah proaktif yang bermuara pada penghematan pemakaian energi listrik. Yang mereka pertontonkan secara gilang-gemilang justru sikap mental business as usual, lengkap dengan segala perilaku yang cenderung berlebihan -- termasuk dalam mengonsumsi energi listrik. Bagi mereka, segalanya sama sekali tanpa masalah alias oke-oke saja.

Karena itu, meski selama beberapa pekan terakhir wacana penghematan energi riuh-rendah mengisi ruang publik, dunia bisnis kita tenang-tenang saja. Mereka tampaknya tak menganggap masalah defisit energi sebagai masalah mereka juga.
Tengok saja pusat-pusat perbelanjaan: sama sekali tak terlihat berhemat dalam penggunaan energi listrik. Fasilitas pendingin udara, tangga berjalan, ataupun lampu penerang ruangan tetap saja difungsikan optimal seperti biasa.

Contoh lain: berbagai stasiun televisi kita, terutama yang berlingkup nasional, hampir tak terlihat mengurangi jam siaran. Masing-masing tetap saja mengudara dalam rentang panjang -- bahkan sebagian stasiun televisi terus tampil nonstop 24 jam. Padahal, dengan produk tayangan yang nyaris seragam serta dengan standar mutu sekadarnya, jam siaran televisi kita ini tak seluruhnya efektif dan produktif menunjang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Bahkan pada jam-jam tertentu, seperti selepas tengah malam hingga menjelang subuh, tayangan televisi kita nyaris mubazir. Tingkat terpaan (coverage) tayangan amat rendah.
Boleh diyakini, pada rentang waktu itu penonton relatif sangat sedikit.

Tapi lucunya, masing-masing stasiun televisi kita justru ikut gencar dan intens membahas krisis pasokan listrik sekarang ini yang notabene sudah sampai tahap menuntut berbagai pihak proaktif melakukan penghematan.

Jadi, SKB Mendag-Menteri ESDM tentang program hemat energi bagi dunia bisnis memang perlu. Mereka amat sulit diharapkan sadar sendiri melakukan langkah-langkah penghematan. Dunia bisnis kita sedikit sekali memiliki keprihatinan terhadap masalah defisit energi listrik. Dunia bisnis kita telanjur setia menerapkan prinsip business as usual.
Jakarta, 24 Juli 2008







Tidak ada komentar: