28 Juli 2008

Putaran Doha Lagi-lagi Macet

Putaran Doha lagi-lagi macet. Lagi-lagi gagal membuahkan kesepakatan. Meski berlangsung selama enam hari penuh, sejak awal pekan lalu, pertemuan menteri-menteri perdagangan negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang berlangsung di Jenewa, Swis, itu kembali gagal menorehkan langkah maju.

Tak bisa tidak, Putaran Doha yang rutin digelar tiap tahun sejak tahun 2001 itu pun silam semakin tidak jelas. Semakin meredupkan harapan masyarakat dunia, khususnya negara-negara berkembang, menyangkut sistem perdagangan global yang menjamin situasi pasar berlangsung bebas, jujur, aman, dan fair.

Tapi sebenarnya itu tak terlampau mengejutkan. Sejak awal orang sudah bisa meraba bahwa Putaran Doha di Jenewa sekadar menjadi pengulangan pertemuan-pertemuan serupa di waktu lalu yang selalu berakhir tanpa kemajuan (deadlock). Orang juga telanjur skeptis atau bahkan pesimistis bahwa Putaran Doha di Jenewa mampu gilang-gemilang melebur perbedaan kepentingan antara dua kubu -- kelompok negara maju dan kelompok negara berkembang -- menjadi kesepakatan yang melegakan bagi perdagangan global.

Skeptisisme dan pesimisme itu tumbuh terutama akibat sikap kelompok negara maju yang amat terkesan berupaya memaksakan kepentingan mereka di satu sisi, dan di sisi lain amat pelit memberi konsesi terhadap kelompok negara berkembang. Mereka, kelompok negara maju, terus berkukuh menuntut negara-negara berkembang membuka akses pasar seluas-luasnya atas produk manufaktur, jasa, dan pertanian mereka. Tapi, pada saat bersamaan, mereka tetap tak beringsut atas tuntutan negara-negara berkembang untuk mengurangi subsidi di sektor pertanian.

Karena itu, komitmen politik pemimpin negara-negara maju mencairkan kebekuan perundingan tata perdagangan dunia ini, yang kerap mereka lontarkan, terbukti omong kosong. Fleksibilitas yang mereka janjikan di banyak kesempatan lagi-lagi terbukti cuma gombalan.

Ironisnya, Putaran Doha sendiri makin kritis. Pertama, karena batas waktu untuk mencapai kesepakatan sudah jauh terlewati, yaitu tahun 2004. Kedua, karena Kongres maupun pemerintahan di AS segera berubah. Bukan tidak mungkin perubahan itu mengubah pula komitmen yang sudah dicanangkan AS selama ini. Artinya, perundingan dalam Putaran Doha ke depan ini berisiko mengalami langkah mundur dengan segala konsekuensinya.

Ketiga, sekarang ini banyak negara sudah lelah berharap. Ini karena selama bertahun-tahun perundingan bergulir, toh Putaran Doha tetap saja tak kunjung mampu melahirkan kesepakatan. Terlebih lagi, sebelum itu Putaran Uruguay pun selama bertahun-tahun praktis gagal total melahirkan perjanjian sistem tarif dan perdagangan dunia.

Karena itu pula, boleh jadi, peserta Putaran Doha di Jenewa pun relatif sedikit. Dari 153 negara anggota WTO, hanya 35 negara yang mengambil bagian dalam pertemuan di Jenewa ini.

Kenyataan itu mencemaskan. Skeptisisme dan pesimisme banyak negara mengenai perundingan perdagangan global ini sungguh tidak sehat. Bagaimanapun, kesepakatan tentang sistem perdagangan dunia sungguh amat diperlukan. Tanpa kesepakatan, notabene di bawah payung WTO, sistem perdagangan dunia akan tetap saja diwarnai ketimpangan dan ketidakadilan. Tetap saja lebih menguntungkan negara-negara maju.

Jadi, harapan tentang manfaat Putaran Doha mestinya tak boleh redup. Masyarakat dunia harus bisa dicegah jangan sampai lelah berharap. Jangan sampai bosan bersikap optimistis.

Untuk itu, kelompok negara maju harus mau beringsut dari posisi mereka. Jika tidak, Putaran Doha tetap tak bisa diharapkan mencairkan kebekuan. Putaran Doha tetap sekadar menjadi ajang kongko-kongko tanpa arti.***
Jakarta, 27 Juli 2008

Tidak ada komentar: