15 Juli 2008

Penggeseran Hari Kerja Industri Bukan Solusi

Surat keputusan bersama (SKB) lima menteri tentang pengalihan hari kerja industri ke Sabtu-Minggu, yang diteken kelima menteri terkait, kemarin, sama sekali bukan solusi atas masalah defisit pasokan listrik. SKB tak serta-merta mengubah pasokan listrik menjadi tidak defisit lagi. Toh pasokan tetap saja jauh di bawah kebutuhan. SKB sendiri hanya mengurangi risiko defisit pada hari kerja Senin-Jumat yang selama ini terjadi, karena sebagian beban jadi digeser ke Sabtu Minggu.

Jadi, krisis listrik tetap saja tak terpecahkan. SKB lima menteri lebih merupakan pengakuan bahwa pemerintah sebagai instrumen negara untuk saat ini tidak mampu mengatasi krisis listrik yang notabene merupakan infrastruktur vital. SKB juga bisa dipandang sebagai bukti tak terbantahkan bahwa negara gagal memenuhi kebutuhan akan energi listrik.

Itu sungguh tidak elok. Krisis listrik amat tak patut masih terjadi di sebuah negara yang sudah menjalani kemerdekaan lebih dari setengah abad. Kalau saja negeri kita ini baru menghirup kemerdekaan selama satu-dua tahun, krisis listrik masih bisa dimaklumi.

Walhasil, krisis listrik yang masih terjadi ketika negara menginjak usia ke 63 tahun sekarang ini merupakan cerminan bahwa kita memang tidak becus mengelola masalah energi. Pertama, kita gagal mengantisipasi peningkatan kebutuhan akan energi listrik. Kedua, kita juga telah keliru merumuskan strategi pembangunan sumber energi.

Peningkatan kebutuhan akan energi listrik -- berapa pun besarnya -- seharusnya bisa diantisipasi. Toh peningkatan kebutuhan itu tidak terjadi dalam sekejap.

Artinya, peningkatan kebutuhan akan energi listrik seharusnya bisa dihitung dan diperhitungkan dalam skala-skala waktu tertentu. Tapi kita selama ini abai mengenai soal itu. Pembangunan pusat-pusat pembangkit listrik selama ini tidak benar-benar dilakukan dengan berpijak pada kebutuhan nyata di lapangan serta tidak pula berjangkauan ke depan. Proyek-proyek pembangkit listrik dibangun lebih dalam rangka memenuhi kepentingan sempit.

Akibatnya, kita keleleran dalam menghadapi peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik ini. Kita terkaget-kaget, panik, dan tak berdaya. Langkah solusi yang ditempuh pun, seperti SKB lima menteri yang kemarin diteken, bersifat semu karena sama sekali tidak menyelesaikan substansi masalah.

Di sisi lain, kita juga telah gagal merumuskan strategi pembangunan energi sesuai potensi sumber daya alam yang kita miliki. Potensi energi angin, energi air, atau energi panas matahari telah kita sia-siakan. Padahal potensi-potensi tersebut demikian melimpah-ruah.

Selama ini kita cenderung terpaku membangun berbagai pembangkit tenaga listrik dengan berbasiskan bahan bakar minyak (BBM) ataupun batubara. Sekarang terbukti, strategi tersebut keliru karena BBM maupun batubara bukan saja amat mahal, melainkan juga tidak menjamin kesinambungan. BBM dan batubara bukan sumber energi terbarukan.

Kekeliruan itu, belakangan, memang mulai disadari. Tapi kesadaran tersebut sudah terlambat. Ibaratnya nasi sudah telanjur jadi bubur. Sekian banyak pembangkit yang berbasiskan BBM ataupun batubara tidak mungkin seketika disingkirkan dan diganti dengan pembangkit yang punya dukungan potensi sumber daya melimpah dan relatif murah.

Jadi, solusi yang mestinya dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis listrik bukan langkah instan dan gampangan. Langkah itu seharusnya adalah koreksi mendasar menyangkut strategi pembangunan energi maupun manajemen kelistrikan nasional. Tanpa itu, langkah apa pun yang ditempuh sulit bisa diharapkan mampu menjawab substansi masalah secara tuntas. Jelas itu memalukan sekaligus menjadi faktor yang terus-menerus menggerogoti daya saing ekonomi nasional.***
Jakarta, 14 Juli 2008